Tersesat dalam lelah,

Saya mengetuk tiga kali dan menunggu.
Menunggu seseorang yang akan keluar dan menjawab pertanyaan-pertanyaan retoris saya?
Pertanyaan-pertanyaan yang hadir untuk tetap menjadi pertanyaan; untuk dipandangi, disentuh, dan dirasakan. –dan dibiarkan tetap diam walau berkali-kali digoda sang jawaban.

Satu minggu (dan bahkan lebih, -maaf saya masih harus berbagi waktu untuk bernapas, berbicara, dan makan, sehingga tidak sempat menghitung) ini langit terus menerus keabuan. Le Ciel est Gris, dan disinilah saya. Sendiri dan berdiam diri.

Lelah. Mungkin itu jawaban termudah saat ditanya kenapa. Entah itu lelah fisik atau yang lainnya, -karena saya sadar, apa yang bersembunyi dibalik persona adalah sisi esoteris seorang manusia. Yang tidak bisa dianalisa melalui kata-kata yang terucap, atau emosi yang muncul. Esoteris. Yang eksis namun belum tentu ekspresif.

Saya rasa saya terlalu banyak terlibat dengan manusia-manusia itu.
Saya terlalu banyak bermain-main dengan perasaan yang dirasakan manusia : cinta.
Dan yang lebih salahnya, saya bermain dengan tingkatan cinta yang paling kroco: cinta monyet. Letup kembang api belaka. Festivities yang saking kuatnya membuat saya senyum sepanjang waktu.

Saya rasa sudah saatnya saya istirahat. Mundur lagi dan mendengarkan apa yang dunia sediakan bagi saya untuk didengar. 
-Tentu saya tahu bahwa perasaan-perasaan manusia juga dapat menjadi subjek pelajaran yang menarik dan bermakna, namun, saya rasa, sekarang bukan waktu yang tepat.
Mungkin saya terlalu dekat dengan permainan  antar manusia ini. 
Saya perlu mundur, menarik diri, dan bersenang-senang dengan dunia dari kejauhan lagi. Mengamati, dan duduk di kursi penonton.

-Selesai mengetuk dan bertanya, saya melanjutkan penantian dengan berkata,
Halo?
Dan saya rasa tidak ada jawaban lain selain gaung dari suara saya sendiri. 
Tenang saja, pembicaraan dengan diri sendiri (bagi saya) adalah hal yang menarik, dan lebih, saya tetap mengenal diri saya tanpa harus (sibuk-sibuk) menganalisa.

The Day When My Attempt to Understand My Sista’s Wedding Marks a Success.

Yeah, after a tiring day yesterday, today i finally smiled. Not because I finally done any guilty-pleasure-act or something. But, after I let all the bad steam flew. After I really forgot every single things that appears to be the source of all tears :p. 

Home from a fun session of choir rehearsal at school, my head is full with questions on what should I bring for “orang-orang rumah” today. I remembered Kak Asih, one who came faraway from Bekasi just to help out the house with chores and housework while the house people (hehe) are out and busy preparing the wedding. Once upon a time (hahah), she told Ompung, “Pung, disini sepi yah. Kalo di sono kan jam segini biasanya deket rumah udah ada jajanan.”
And ompung told me so (Kak Asih didn’t tell me herself). I felt guilty for her. Seinget aku disini jajanan berlimpah ;p. Then, finally, today, i remembered those words and on my way to buy some gorengan. Yeah, yeah.. which I’ve been so unaware kalo valuta perusahaan gorengan meroket MAHAL! Uh, moso’ Rp. 5.000 dapet 7 doang! I shudda fry them myself! Ah ya, tenang saja. Words doesn’t represent the whole emotion. Especially this one. I was too cool to think about yelling and sumpah-serapah *hehehe… and, when I’m home, It appeared that my sista’s already home. So, I offered her if she want some. Yeah, she told me she won’t eat anything fried with those fry-y fry-y oil for the sake of perfect face. She oathed! But nay, not even a minute when she finally fall for empek-empek. But sure, we save the other for ompung and Kak Asih. 

 God bless Empek-empek! When we’re eating those empek-empek that is when my sista told me that Kak Butet has dropped some comments on her wedding invitation. She gaved bad comments for the invitation and the photo inside. Yeah, she dropped words that, even Fashion People will considered dangerous. The F word! Freakily jelek :p hehe. Yeah, I don’t know how, but somehow, I could finally form a nice words.. *yaay! Wekekekkk ;p. I told her, “Yah, ada beberapa hal yang orang lain tahu, namun, lebih banyak lagi yang orang lain tidak tahu. Oke, kak butet punya pendapat tentang fotonya, undangannya. Oke, mungkin selera dia bagus. Oke, joy akin dia pasti niatnya baik, dia pasti mikir ini pernikahan mau dibuat keren. Tapi, dia ndak tau kalo kakak lebih pengen pernikahan ini dibiayai duit sendiri. Kakakku lebih mengutamakan keluarga menerima dia apa adanya. Karena bagi dia, affection is what proven to make couple survive. Not a dazzling party. Not a highly-exclusively-expensive-invitation card. Kakak cuman ndak mau ngerepotin bapak. Kakak sadar, bapak udah mau pensiun. Dan kakak juga mau ngurangin imej kalo bapak itu kaya. Kakak pengen semua sadar kalo semua ada waktunya.”
Yeah, God bless me! Seharusnya kata sepanjang itu aku pake pas lomba pidato ya, setidaknya ndak malu-maluin karena kata-kata yang patah-patah.
Dan itu kata-kata seharusnya ditujukan terlebih kepada saya. Yang lupa berkontemplasi. Lupa memegang tangan kakak diwaktu semua keluarga ndak mendukung dia.
I’m so sorry for that.
Really. So sorry. And I hope, sorry is a fertilizer for love.

The day where i forgot how to write a title

With Dewi Lestari’s Rectoverso, and a cup of nice, warm coffee.

Diam.
Diam dalam hening;
Rehat sejenak, perlahan-lahan menikmati kopi. Pahit yang eksotik.
Ingin rasanya membuka jendela di depan meja saya, dan membiarkan angin sore masuk; menyapa; dan bermain-main sambil mendengar bisik cerita perjalanannya.
Liburan. Libur dua minggu ini saya habiskan bermalas-malasan:
Malas makan. Saya rasa ini yang menyebabkan kegantengan saya bertambah *ditimpuk:p

Malas tidur. Walaupun saya sudah berharap selama liburan ini saya akan hidup dalam gaya hidup yang sehat; yang teratur; yang jam tidurnya sekitar jam 10 atau 11 –Yang mana masih dibilang kurang sehat juga *swt. Yang ada, jam lelap saya tidak berpindah dari pukul 01.30, 02.30 dan sekitarnya*swt. Tapi syukurlah, kemarin saya sudah berjalan-jalan dalam dunia mimpi sebelum jarum jam melewati pukul 12. Setidaknya, mata saya tidak terbuka menyaksikan hari berganti *menyeringai.
Dan, sebelum ditebak-tebak, seperti yang penonton duga *dilempari pisau , saya bangun pukul 10. *menyeringai. Walaupun pada pukul 6, sempat bangun, sih *bela diri dong :D

Malas menangis; Malas marah; Malas tertawa.
Entahlah, saya rasa ada sekrup yang lepas di bagian yang mengurusi ekspresi *Sambil mengecek, membongkar kepala yang membuat ibu saya teriak-teriak :D
Saya menikmati hidup. Santai, namun nikmat. Saya tidak langsung marah sambil teriak-teriak saat satu sekolah menuduh saya macam-macam; menuduh saya ”membawa” sesuatu, sesuatu dengan tanda kutip *swt, sesuatu yang mistik *banjir keringat; saat ibu seorang teman, berkonspirasi dengan wali kelas saya yang baru, membuat saya makan bawang putih mentah bulat-bulat, dengan alasan untuk mengusir ”bawaan” saya itu.
Saya tidak marah saat seorang sahabat memilih untuk menjauhi saya, karena ibu – yang baru saja saya ceritakan diatas— itu menyuruhnya menjauhi saya dengan alasan yang masih juga tidak beranjak dari ”bawaan” itu *Beken banget sih looo
Saya sadar, mereka masih manusia. Saya tidak punya kuasa untuk membangunkan mereka dari mimpi-lucu-dan-menyenangkan mereka. Saya tidak sehebat itu untuk bisa membangunkan mereka dari tidur-melek mereka itu.
Biarkanlah mereka senyum-senyum dengan tebak-tebakan-berhadiah-drama-menyenangkan itu. Toh saya masih bisa senyum-senyum melihat mereka. *Menyeringai.


Omong-omong, yang saya dengarkan ini lagu, atau curhat sih? *pura-pura bloon.
Saya merasa, ada seseorang yang bercerita dengan sangat nyata. Saya mendengar ia berutur --membagi-bagikan tanpa menghambur-hambur-- akan suatu pengalaman yang akhirnya dapat ia hadapi dengan caranya sendiri. Yang dihari lain ia nikmati dengan tersenyum; tertawa; atau dengan senyum dramatik diselingi hujan rintik air mata yang manis. Ya, percayalah, air matanya manis dan bukan asin; bening dan bukan keruh.
Saya juga percaya, setelah menangis sambil tersenyum, alih-alih menjadi jelek, seseorang akan menjadi lebih manis dan percaya. Seharusnya anda mencobanya sambil bercermin.

Oh wait, am I telling my story or what? I think I should get a grip before I lose my mind here. I’m still home but my mind has went somewhere far, about a hundred kilometers from here... *grins