Guess Who Invaded Earth?

I began my concern from a question, “Guess who invaded earth?”. I’d answer clearly, we do. We, the human, do. 

Plenty of birds have been found dead, caused by our street lights. They are confused with the time-line. They are confused to differ the night, and the daylight. Street lights, Café lanterns, and all the flashy-decorations are faking daylight. Now the day is 24hour.

Some decomposers are mutated by water pollution. Some are dead. Some are found as “Monsters of Ancol”. Guess who created the monster? We do. We, the human, do.

Smokes, and all the dangerous exposure of our disposals are killing. A mass murder, indeed. It causes suffocation, clean water crisis, rice shortage, and anything. Deadly enough to kill.

This should be our concern. For we, have proclaimed ourselves, the conqueror of the earth. The only being, smart enough to think. The only being, that have soul, and power of learning. I’m sorry, but we don’t. And even if we does, we’re not using it for greater good. We use it for our personal good. We make a slave to it.

Guess, who invaded earth? We do.
So, now, before it’s too late. We should begin to listen to our awareness, to our conscience, that we have to repay what we have taken from the earth.
We should now stop, the power over-use. Turn off the inappropriate.
Dispose properly. Stop messing with the river. Stop exploitation, and start to appreciate. 

Start to conserve. Start to care.

Ehm, sebenernya ini dibuat untuk tugas pidato sodara - -"

Lupa nyisipin poin yang sebenernya menyentil: Kepemilikan.

Ini bumi punya siapa sih? Kalo tanah yang kita injak ini beli dari tetangga, terus tetangga beli dari RT, RT beli dari buyut, dan buyut beli dari penguasa jaman dulu, dst...

Siapa yang beli tanah pertama kali?

.

Well, ini bukan air mata. 
Ini juga bukan kesedihan dengan raung-raung serigala.
Aku hanya bergulat sendirian. Diantara aksara.

Bahkan untuk ngasih alasan kukuh ke antropologi aja, langsung diem setelah 2 kali berbalas.
Bahkan, untuk membela kenetralan pada komunisme di pelajaran kewarganegaraan saja, tak lanjut menyelip diantara penjelasan guru yang sebenarnya masih bisa dibiarkan berlanjut.

Mungkin saya hilang diantara ragu.
Bukan tersesat, hanya hilang.
Bertanya-tanya, dan hilang.

Sore ini.

Siang tadi, hari begitu menyenangkan.
Beraneka tawa terhidang, memberikan nikmat dalam jumlah yang tidak banyak, namun terus menerus. Berlompatan, dan sesekali menggelitik. Tawa kecil. Tawa besar. Tawa raksasa (hah?).
Mulai dari obrolan dengan si Rambo, kebanggaan karena seorang teman melihat si Meylan melirik ke arah saya, sampai saat pulang, bertemu pandang dengan seseorang yang -walaupun sering ketemu- berbincang saja belum.

Sore ini. Baru saja. Walaupun saya belum sempat memandangi langit sore, saya bertubrukan lagi dengan "sesuatu".
Bukan, bukan "sesuatu" yang itu. Walaupun sama-sama abstrak, yang satu ini "terasa" kontemplatif. Lompatan tanda tanya yang menggelitik.

Saya rasa saya butuh keheningan. Diam sejenak. Tanpa ada siapa. Berduaan saja dengan langit. Yang kosong ribut, namun penuh bisik. 
Saya bertemu lagi dengan testimonial berisi kekaguman seseorang dengan tulisan anak yang masih duduk di kelas 2 SMA. Baiklah, saya bahkan belum pernah membaca bukunya. Namun, iri itu terasa. Iri yang sama saat melihat teman sebaya sudah bertemu dengan aliran anginnya. Saat teman sebaya sudah apik merajut kata-kata.

Ya, saya sadar, tulisan saya belum cukup menarik untuk dikumpulkan dalam buku. Toh, dalam kemasan 500 kata saja masih jadi bahan tawa. 
Mungkin saya butuh jujur dengan rasa, dan kembali hening.
Ya, saat ini, 
mungkin saya sedang rindu keheningan.
   

Beberapa "terkadang" dan lamunan larut

Terkadang. Dokumentasi tak bisa mengganti.... Esensi. Rasa. Emosi. Luapan kemistri yang -bukannya meledak, malah- kerlap-kerlip romantik.

Terkadang. Bukan menjadikannya abadi yang akan membuatnya berarti. 

Justru yang temporari. Yang terbatas. Yang tidak infinit.

Cinta. Ya, cinta. Yang tak bisa henti membuat saya becek mata. Yang tak henti membuat saya kehabisan kata-kata. Saya ingin larut. Melebur diantaranya. Jadi bagian, walau dalam kembara.

Dan berhadapan dengannya, membuat saya bisu aksara.

Kemarin, pertanyaan lalu-lalang berulang-ulang saya karang. Saya menyentil teman-teman saya. Menyentil mereka dengan pertanyaan khas, "If -somehow- i'm not me, will you still be there?" dan di lamunan itu, mereka menjawab. "Where? To be there? No. But to be your friend? Yes. And by not being there, we mean we're going to be somewhere. Just not there." -Dan ternyata obrolan ini hanya impersonasi semata. I've been imagining things :D D'oh!

Ehm, iseng saja. Apabila saya menjadi pencicip dunia dan bergaya hidup penuh ria -yang kelewat batas-, katakanlah... mengikuti gaya hidup stereotip gay, muluk-kah mengharap jawaban yang sama?

Entahlah. Dan apa yang datang kelak, saya simpan untuk kelak. Yang sekarang harus saya lakukan adalah, menghitung bagian kue yang belum mutung, dan bukan mengutukinya sambil merintih perih.

Perjalanan beberapa jam.

19.19
Dan saya tidak menyadari kalau pendaftaran "Bujang-Dayang" sudah lama berlalu.
19.30
Saya makan di warung mian yang dikelola sekeluarga. And for every family, there's a mommy.
19.38
Berulang kali ada kilat tanpa guruh petir.
19.--
Dan bandar -selokan besar- pun cantik berhiaskan lampu temaram jingga.
20.07
Dan ini tentang optimisme bangsa.
20.08
Episode xxxholic: transfigurasi.
Manusia bersayap malaikat dan kebaikan yang berontak.
20.10 
Dan pertanyaannya adalah: Baik dulu kemudian berontak, atau jahat untuk kemudian bertobat?
20.20
Teh, kopi, dan susu.
20.21
The no-souls and other dimensions.
20.18 (Kehilangan linear waktu)
And the weirdo.
20.18+
Angels are not the only one with wings.
20.19
And
www.animax-lamb.com
And
Japanese Classic Horror
20.22
And as i thought, friendship is friendship. When you keep track on what's advantage and what's disadvantage, then you're doing business.
And
The ghost fed on your wrath.
But the vanguard nurtured by your deed.
20.24
And, "What is that thing, Yuko?"
"It's a fallen angel"
Ahh, i forgot there's such thing ;D

-Ehm, somehow i fall for the nine-tails.
20.31
Episode 14. Seals
20.33
And words are living things.
20.42
Dan ini tentang perintah yang tidak bisa di-elak.

Lelah.

Mungkin sudah terlalu sering saya berkata lelah. Namun, saya rasa lelah itu sendiri adalah bagian dari proses pembelajaran -yang lagi-lagi..- melibatkan perasaan. Saya tidak merasa sedang belajar atau hal-hal semacamnya. Saya merasa merasakan emosi-emosi yang dirasakan manusia.

Banyak cerita, banyak rasa.

Namun saat ini, saya rasa saya terlalu lelah untuk bergulat dengan aksara.

Nantilah yaaa..