Acceptance.

(Pengen post, tapi.... Ah, udah malem :p)

Natal Awal?


Kuriosita yang ini dibangkitkan obrolan selewat dengan Kak Merry di gereja minggu ini. Bukankah menurut linear waktu, masa-masa sebelum 25 desember adalah masa-masa penderitaan Yusuf dan Maria? Kenapa di gereja yang kami kunjungi ini, natal bahkan dirayakan tanggal 12, 17, dan tanggal-tanggal lain di bawah 25. Mungkinkah ini hanya masalah linear waktu yang tidak diikuti saja, atau kita memang sedang "merayakan" istilah "raya"?

Mungkinkah, yang sebenarnya terjadi adalah, fokus dari peringatan hari kelahiran ini bukan lagi esensi yang sama dengan yang lama? Tapi, atas nama modernitas, lebih pada pemaknaan perayaan keluarga, festivities liburan, dan sebagainya?

-Entahlah.

foto dari sxc.hu


Kabar langit hari ini: Bergulung!

Dengan awan yang berlapis-lapis tebal, siang hari hujan turun. Dan saya menunggu di luar pintu, karena lupa bawa kunci. Alhasil, tidur di ayunan sambil meluk jaket. Nyaman tenan :)

Malam ini, saya belum cukup hening untuk bergeming. Mungkin saya akan bermanja pada jeda. Atau menikmati kabut dingin dalam segelas es teh?

-Ijinkan saya pamit.

Konsern hari ini: Dokter Gigi Holistik?


Hari ini saya menemani mama tercinta ke dokter gigi. Lumayan membangkitkan ingatan "menarik" masa kecil saat terdengar bunyi-bunyi bor gigi :D. Diantara mesin-mesin perang tersebut, saya bertanya-tanya, "Adakah jalan damai?" -terlepas dari konteks alat-alat canggih, ya. Kuriosita saya adalah eksistensi pengobatan 'damai'. Tanpa alat perang :D

Hal ini akan menjadi pertanyaan yang menunggu datangnya jawaban. Baik itu dari kolom komentar, atau yang datang sendiri bersedia membantu saya :)

Guess Who Invaded Earth?

I began my concern from a question, “Guess who invaded earth?”. I’d answer clearly, we do. We, the human, do. 

Plenty of birds have been found dead, caused by our street lights. They are confused with the time-line. They are confused to differ the night, and the daylight. Street lights, Café lanterns, and all the flashy-decorations are faking daylight. Now the day is 24hour.

Some decomposers are mutated by water pollution. Some are dead. Some are found as “Monsters of Ancol”. Guess who created the monster? We do. We, the human, do.

Smokes, and all the dangerous exposure of our disposals are killing. A mass murder, indeed. It causes suffocation, clean water crisis, rice shortage, and anything. Deadly enough to kill.

This should be our concern. For we, have proclaimed ourselves, the conqueror of the earth. The only being, smart enough to think. The only being, that have soul, and power of learning. I’m sorry, but we don’t. And even if we does, we’re not using it for greater good. We use it for our personal good. We make a slave to it.

Guess, who invaded earth? We do.
So, now, before it’s too late. We should begin to listen to our awareness, to our conscience, that we have to repay what we have taken from the earth.
We should now stop, the power over-use. Turn off the inappropriate.
Dispose properly. Stop messing with the river. Stop exploitation, and start to appreciate. 

Start to conserve. Start to care.

Ehm, sebenernya ini dibuat untuk tugas pidato sodara - -"

Lupa nyisipin poin yang sebenernya menyentil: Kepemilikan.

Ini bumi punya siapa sih? Kalo tanah yang kita injak ini beli dari tetangga, terus tetangga beli dari RT, RT beli dari buyut, dan buyut beli dari penguasa jaman dulu, dst...

Siapa yang beli tanah pertama kali?

.

Well, ini bukan air mata. 
Ini juga bukan kesedihan dengan raung-raung serigala.
Aku hanya bergulat sendirian. Diantara aksara.

Bahkan untuk ngasih alasan kukuh ke antropologi aja, langsung diem setelah 2 kali berbalas.
Bahkan, untuk membela kenetralan pada komunisme di pelajaran kewarganegaraan saja, tak lanjut menyelip diantara penjelasan guru yang sebenarnya masih bisa dibiarkan berlanjut.

Mungkin saya hilang diantara ragu.
Bukan tersesat, hanya hilang.
Bertanya-tanya, dan hilang.

Sore ini.

Siang tadi, hari begitu menyenangkan.
Beraneka tawa terhidang, memberikan nikmat dalam jumlah yang tidak banyak, namun terus menerus. Berlompatan, dan sesekali menggelitik. Tawa kecil. Tawa besar. Tawa raksasa (hah?).
Mulai dari obrolan dengan si Rambo, kebanggaan karena seorang teman melihat si Meylan melirik ke arah saya, sampai saat pulang, bertemu pandang dengan seseorang yang -walaupun sering ketemu- berbincang saja belum.

Sore ini. Baru saja. Walaupun saya belum sempat memandangi langit sore, saya bertubrukan lagi dengan "sesuatu".
Bukan, bukan "sesuatu" yang itu. Walaupun sama-sama abstrak, yang satu ini "terasa" kontemplatif. Lompatan tanda tanya yang menggelitik.

Saya rasa saya butuh keheningan. Diam sejenak. Tanpa ada siapa. Berduaan saja dengan langit. Yang kosong ribut, namun penuh bisik. 
Saya bertemu lagi dengan testimonial berisi kekaguman seseorang dengan tulisan anak yang masih duduk di kelas 2 SMA. Baiklah, saya bahkan belum pernah membaca bukunya. Namun, iri itu terasa. Iri yang sama saat melihat teman sebaya sudah bertemu dengan aliran anginnya. Saat teman sebaya sudah apik merajut kata-kata.

Ya, saya sadar, tulisan saya belum cukup menarik untuk dikumpulkan dalam buku. Toh, dalam kemasan 500 kata saja masih jadi bahan tawa. 
Mungkin saya butuh jujur dengan rasa, dan kembali hening.
Ya, saat ini, 
mungkin saya sedang rindu keheningan.
   

Beberapa "terkadang" dan lamunan larut

Terkadang. Dokumentasi tak bisa mengganti.... Esensi. Rasa. Emosi. Luapan kemistri yang -bukannya meledak, malah- kerlap-kerlip romantik.

Terkadang. Bukan menjadikannya abadi yang akan membuatnya berarti. 

Justru yang temporari. Yang terbatas. Yang tidak infinit.

Cinta. Ya, cinta. Yang tak bisa henti membuat saya becek mata. Yang tak henti membuat saya kehabisan kata-kata. Saya ingin larut. Melebur diantaranya. Jadi bagian, walau dalam kembara.

Dan berhadapan dengannya, membuat saya bisu aksara.

Kemarin, pertanyaan lalu-lalang berulang-ulang saya karang. Saya menyentil teman-teman saya. Menyentil mereka dengan pertanyaan khas, "If -somehow- i'm not me, will you still be there?" dan di lamunan itu, mereka menjawab. "Where? To be there? No. But to be your friend? Yes. And by not being there, we mean we're going to be somewhere. Just not there." -Dan ternyata obrolan ini hanya impersonasi semata. I've been imagining things :D D'oh!

Ehm, iseng saja. Apabila saya menjadi pencicip dunia dan bergaya hidup penuh ria -yang kelewat batas-, katakanlah... mengikuti gaya hidup stereotip gay, muluk-kah mengharap jawaban yang sama?

Entahlah. Dan apa yang datang kelak, saya simpan untuk kelak. Yang sekarang harus saya lakukan adalah, menghitung bagian kue yang belum mutung, dan bukan mengutukinya sambil merintih perih.

Perjalanan beberapa jam.

19.19
Dan saya tidak menyadari kalau pendaftaran "Bujang-Dayang" sudah lama berlalu.
19.30
Saya makan di warung mian yang dikelola sekeluarga. And for every family, there's a mommy.
19.38
Berulang kali ada kilat tanpa guruh petir.
19.--
Dan bandar -selokan besar- pun cantik berhiaskan lampu temaram jingga.
20.07
Dan ini tentang optimisme bangsa.
20.08
Episode xxxholic: transfigurasi.
Manusia bersayap malaikat dan kebaikan yang berontak.
20.10 
Dan pertanyaannya adalah: Baik dulu kemudian berontak, atau jahat untuk kemudian bertobat?
20.20
Teh, kopi, dan susu.
20.21
The no-souls and other dimensions.
20.18 (Kehilangan linear waktu)
And the weirdo.
20.18+
Angels are not the only one with wings.
20.19
And
www.animax-lamb.com
And
Japanese Classic Horror
20.22
And as i thought, friendship is friendship. When you keep track on what's advantage and what's disadvantage, then you're doing business.
And
The ghost fed on your wrath.
But the vanguard nurtured by your deed.
20.24
And, "What is that thing, Yuko?"
"It's a fallen angel"
Ahh, i forgot there's such thing ;D

-Ehm, somehow i fall for the nine-tails.
20.31
Episode 14. Seals
20.33
And words are living things.
20.42
Dan ini tentang perintah yang tidak bisa di-elak.

Lelah.

Mungkin sudah terlalu sering saya berkata lelah. Namun, saya rasa lelah itu sendiri adalah bagian dari proses pembelajaran -yang lagi-lagi..- melibatkan perasaan. Saya tidak merasa sedang belajar atau hal-hal semacamnya. Saya merasa merasakan emosi-emosi yang dirasakan manusia.

Banyak cerita, banyak rasa.

Namun saat ini, saya rasa saya terlalu lelah untuk bergulat dengan aksara.

Nantilah yaaa..

Tersesat dalam lelah,

Saya mengetuk tiga kali dan menunggu.
Menunggu seseorang yang akan keluar dan menjawab pertanyaan-pertanyaan retoris saya?
Pertanyaan-pertanyaan yang hadir untuk tetap menjadi pertanyaan; untuk dipandangi, disentuh, dan dirasakan. –dan dibiarkan tetap diam walau berkali-kali digoda sang jawaban.

Satu minggu (dan bahkan lebih, -maaf saya masih harus berbagi waktu untuk bernapas, berbicara, dan makan, sehingga tidak sempat menghitung) ini langit terus menerus keabuan. Le Ciel est Gris, dan disinilah saya. Sendiri dan berdiam diri.

Lelah. Mungkin itu jawaban termudah saat ditanya kenapa. Entah itu lelah fisik atau yang lainnya, -karena saya sadar, apa yang bersembunyi dibalik persona adalah sisi esoteris seorang manusia. Yang tidak bisa dianalisa melalui kata-kata yang terucap, atau emosi yang muncul. Esoteris. Yang eksis namun belum tentu ekspresif.

Saya rasa saya terlalu banyak terlibat dengan manusia-manusia itu.
Saya terlalu banyak bermain-main dengan perasaan yang dirasakan manusia : cinta.
Dan yang lebih salahnya, saya bermain dengan tingkatan cinta yang paling kroco: cinta monyet. Letup kembang api belaka. Festivities yang saking kuatnya membuat saya senyum sepanjang waktu.

Saya rasa sudah saatnya saya istirahat. Mundur lagi dan mendengarkan apa yang dunia sediakan bagi saya untuk didengar. 
-Tentu saya tahu bahwa perasaan-perasaan manusia juga dapat menjadi subjek pelajaran yang menarik dan bermakna, namun, saya rasa, sekarang bukan waktu yang tepat.
Mungkin saya terlalu dekat dengan permainan  antar manusia ini. 
Saya perlu mundur, menarik diri, dan bersenang-senang dengan dunia dari kejauhan lagi. Mengamati, dan duduk di kursi penonton.

-Selesai mengetuk dan bertanya, saya melanjutkan penantian dengan berkata,
Halo?
Dan saya rasa tidak ada jawaban lain selain gaung dari suara saya sendiri. 
Tenang saja, pembicaraan dengan diri sendiri (bagi saya) adalah hal yang menarik, dan lebih, saya tetap mengenal diri saya tanpa harus (sibuk-sibuk) menganalisa.

The Day When My Attempt to Understand My Sista’s Wedding Marks a Success.

Yeah, after a tiring day yesterday, today i finally smiled. Not because I finally done any guilty-pleasure-act or something. But, after I let all the bad steam flew. After I really forgot every single things that appears to be the source of all tears :p. 

Home from a fun session of choir rehearsal at school, my head is full with questions on what should I bring for “orang-orang rumah” today. I remembered Kak Asih, one who came faraway from Bekasi just to help out the house with chores and housework while the house people (hehe) are out and busy preparing the wedding. Once upon a time (hahah), she told Ompung, “Pung, disini sepi yah. Kalo di sono kan jam segini biasanya deket rumah udah ada jajanan.”
And ompung told me so (Kak Asih didn’t tell me herself). I felt guilty for her. Seinget aku disini jajanan berlimpah ;p. Then, finally, today, i remembered those words and on my way to buy some gorengan. Yeah, yeah.. which I’ve been so unaware kalo valuta perusahaan gorengan meroket MAHAL! Uh, moso’ Rp. 5.000 dapet 7 doang! I shudda fry them myself! Ah ya, tenang saja. Words doesn’t represent the whole emotion. Especially this one. I was too cool to think about yelling and sumpah-serapah *hehehe… and, when I’m home, It appeared that my sista’s already home. So, I offered her if she want some. Yeah, she told me she won’t eat anything fried with those fry-y fry-y oil for the sake of perfect face. She oathed! But nay, not even a minute when she finally fall for empek-empek. But sure, we save the other for ompung and Kak Asih. 

 God bless Empek-empek! When we’re eating those empek-empek that is when my sista told me that Kak Butet has dropped some comments on her wedding invitation. She gaved bad comments for the invitation and the photo inside. Yeah, she dropped words that, even Fashion People will considered dangerous. The F word! Freakily jelek :p hehe. Yeah, I don’t know how, but somehow, I could finally form a nice words.. *yaay! Wekekekkk ;p. I told her, “Yah, ada beberapa hal yang orang lain tahu, namun, lebih banyak lagi yang orang lain tidak tahu. Oke, kak butet punya pendapat tentang fotonya, undangannya. Oke, mungkin selera dia bagus. Oke, joy akin dia pasti niatnya baik, dia pasti mikir ini pernikahan mau dibuat keren. Tapi, dia ndak tau kalo kakak lebih pengen pernikahan ini dibiayai duit sendiri. Kakakku lebih mengutamakan keluarga menerima dia apa adanya. Karena bagi dia, affection is what proven to make couple survive. Not a dazzling party. Not a highly-exclusively-expensive-invitation card. Kakak cuman ndak mau ngerepotin bapak. Kakak sadar, bapak udah mau pensiun. Dan kakak juga mau ngurangin imej kalo bapak itu kaya. Kakak pengen semua sadar kalo semua ada waktunya.”
Yeah, God bless me! Seharusnya kata sepanjang itu aku pake pas lomba pidato ya, setidaknya ndak malu-maluin karena kata-kata yang patah-patah.
Dan itu kata-kata seharusnya ditujukan terlebih kepada saya. Yang lupa berkontemplasi. Lupa memegang tangan kakak diwaktu semua keluarga ndak mendukung dia.
I’m so sorry for that.
Really. So sorry. And I hope, sorry is a fertilizer for love.

The day where i forgot how to write a title

With Dewi Lestari’s Rectoverso, and a cup of nice, warm coffee.

Diam.
Diam dalam hening;
Rehat sejenak, perlahan-lahan menikmati kopi. Pahit yang eksotik.
Ingin rasanya membuka jendela di depan meja saya, dan membiarkan angin sore masuk; menyapa; dan bermain-main sambil mendengar bisik cerita perjalanannya.
Liburan. Libur dua minggu ini saya habiskan bermalas-malasan:
Malas makan. Saya rasa ini yang menyebabkan kegantengan saya bertambah *ditimpuk:p

Malas tidur. Walaupun saya sudah berharap selama liburan ini saya akan hidup dalam gaya hidup yang sehat; yang teratur; yang jam tidurnya sekitar jam 10 atau 11 –Yang mana masih dibilang kurang sehat juga *swt. Yang ada, jam lelap saya tidak berpindah dari pukul 01.30, 02.30 dan sekitarnya*swt. Tapi syukurlah, kemarin saya sudah berjalan-jalan dalam dunia mimpi sebelum jarum jam melewati pukul 12. Setidaknya, mata saya tidak terbuka menyaksikan hari berganti *menyeringai.
Dan, sebelum ditebak-tebak, seperti yang penonton duga *dilempari pisau , saya bangun pukul 10. *menyeringai. Walaupun pada pukul 6, sempat bangun, sih *bela diri dong :D

Malas menangis; Malas marah; Malas tertawa.
Entahlah, saya rasa ada sekrup yang lepas di bagian yang mengurusi ekspresi *Sambil mengecek, membongkar kepala yang membuat ibu saya teriak-teriak :D
Saya menikmati hidup. Santai, namun nikmat. Saya tidak langsung marah sambil teriak-teriak saat satu sekolah menuduh saya macam-macam; menuduh saya ”membawa” sesuatu, sesuatu dengan tanda kutip *swt, sesuatu yang mistik *banjir keringat; saat ibu seorang teman, berkonspirasi dengan wali kelas saya yang baru, membuat saya makan bawang putih mentah bulat-bulat, dengan alasan untuk mengusir ”bawaan” saya itu.
Saya tidak marah saat seorang sahabat memilih untuk menjauhi saya, karena ibu – yang baru saja saya ceritakan diatas— itu menyuruhnya menjauhi saya dengan alasan yang masih juga tidak beranjak dari ”bawaan” itu *Beken banget sih looo
Saya sadar, mereka masih manusia. Saya tidak punya kuasa untuk membangunkan mereka dari mimpi-lucu-dan-menyenangkan mereka. Saya tidak sehebat itu untuk bisa membangunkan mereka dari tidur-melek mereka itu.
Biarkanlah mereka senyum-senyum dengan tebak-tebakan-berhadiah-drama-menyenangkan itu. Toh saya masih bisa senyum-senyum melihat mereka. *Menyeringai.


Omong-omong, yang saya dengarkan ini lagu, atau curhat sih? *pura-pura bloon.
Saya merasa, ada seseorang yang bercerita dengan sangat nyata. Saya mendengar ia berutur --membagi-bagikan tanpa menghambur-hambur-- akan suatu pengalaman yang akhirnya dapat ia hadapi dengan caranya sendiri. Yang dihari lain ia nikmati dengan tersenyum; tertawa; atau dengan senyum dramatik diselingi hujan rintik air mata yang manis. Ya, percayalah, air matanya manis dan bukan asin; bening dan bukan keruh.
Saya juga percaya, setelah menangis sambil tersenyum, alih-alih menjadi jelek, seseorang akan menjadi lebih manis dan percaya. Seharusnya anda mencobanya sambil bercermin.

Oh wait, am I telling my story or what? I think I should get a grip before I lose my mind here. I’m still home but my mind has went somewhere far, about a hundred kilometers from here... *grins

Yeah, and now i still give opening speech?

Ntar deh.