24.12.09

Saya sudah lama tidak menulis, tidak perlu minta maaf atas hal itu, kan? Kebetulan saja saya lebih memilih pena dan kertas untuk menuangkan ide saya. Sama saja jika saya lebih memilih membelanjakan 50 ribu untuk isi-ulang parfum dibanding majalah National Geographic, cukup karena saya mau melakukannya. Kemauan sebegitu berkuasanya sampai ia mampu mengendalikan pantat seberat apapun. Jika kemauan sudah berbicara, maka kau akan menjawabnya.
Saya sempat kesal karena ide-ide berbanjiran tanpa menunggu saya bisa mengetikkannya. Ide cerita tentang daerah-daerah tertinggal dan generasi kini, ide cerita tentang pria centil, ide cerita (janjian bareng, sebenarnya) tentang natal kelam, ide pentas seni, ide usaha, ide kegiatan kuliah, ide menghasilkan uang, dan ide-ide yang membujuk saya membuatkan mereka rumah. Namanya sudah diusulkan, ideavault. Pantat ini saja yang terlalu berat untuk bergerak. Sebal.
Saya menonton Virgin 2, kemarin. Dan Jermal, kemarin malam, dini hari, dan malam ini. Saya gatal ingin membuat ulasan. Tapi, gatal saja tidak cukup untuk membuat pantat bergerak.
Tadi siang, saya jalan-jalan dengan bang Freddy, inanguda, dan Patricia (dipanggil Olu). Menemani mereka ke butik (Mega Busana), dan tukang jahit (gang Satam). Saya kepingin saja, tahu tukang jahit yang kreatif dan berintegritas tinggi pada karya-karyanya. Juga, kenal dengan pedagang tekstil, serta akrab dengan 101 tekstil (err... seluk-beluknya.) Untuk ini, saya akan mencari saja informasinya dengan bantuan google.
Saya sempat menyusup ke akun facebook seorang senior di smp dulu. Sekarang ia sudah berkuliah di Universitas Presiden. Saya gatal melihat-lihat fotonya. Saya juga masih bingung apakah jadi masuk situ atau tidak. Karena, Bandung itu menggoda, tahu! Udara dingin, galeri-galeri kecil, batas bias kota-desa (bayangkan saja malamnya berpesta di teras depan Plaza Dago, lalu siangnya tidur-tidur laiknya Kabayan di Kampung Daun (Oke, anggap contoh saya salah. Tidur-tidur di penginapan sederhana di daerah Lembang). Jikapun saya berkuliah di Universitas Presiden, mungkin berakhir pekan di Bandung juga tidak apa-apa. Sabtu-Minggu, nginep di rumah a la homestay dengan biaya murah, tapi tetep enak. Hotel, bolehlah, kalau saya sudah bisa menghasilkan uang. Menulis, mungkin? Atau bekerja di bidang komunikasi. Atau.... menari dengan turn-table sebagai DJ? Whoa, save it for later! :p
Omong-omong, tadi, tanggal 24, kebaktian malam di gereja. Saya mengenakan jas karena mewakili wijk (sektor) untuk membacakan liturgi. Di akhir kebaktian, diadakan perjamuan kudus. Karena saya baru mendapat ijin ikut perjamuan kudus tahun ini, inilah kali pertama saya mencicipi tubuh dan darah Yesus. Dan, saya menangis. Oke, pengennya nangis. Cuma, air mata ndak keluar semua - -“
Saya terharu, karena ini adalah (mungkin) natal terakhir saya di gereja ini dalam 3 tahun ke depan (padahal tahun depan bisa saja saya libur kuliah dan ke sini, kan? Berlebihan). Ya, saya berterimakasih atas perjalanan yang menarik ini, serta meminta maaf karena terlalu sering bergantung pada keberuntungan. Saya juga mohon ijin menarik diri dari segala keberuntungan itu, dan mulai berusaha mandiri. Spontan memang menarik dan seru, tapi, saya harus memberi batas untuk itu. Jika hubungannya sudah menyentuh hajat hidup orang lain, saya seharusnya lebih matang lagi dalam mempersiapkannya.
Ingat jabatan saya sebagai koordintator forum PMI kota Pangkalpinang? Saya belum banyak berbuat apa-apa. Majalah belum beres, Aksi lapangan belum tampil, sistem, pun, belum dibenahi. Call me a baaaaaddd coordinator. Yah, walaupun saya sering ngotot kalo saya ini “the good manager”. Puih.
Enggak ngerti bikin akhiran/penutup, sih. So, here goes.

Sisipan

Di antara masa-masa sibuk mencari waktu untuk melanjutkan belajar menulis skrip film dan/atau proposal program televisi, ide ini tiba-tiba jatuh. Walaupun akan berbeda dengan cerita yang satunya, (Seni: melalui indera-indera), saya tetap gatal untuk meletakkannya di suatu tempat. Jadi, inilah:

--------
...lalu kita bertemu di atas 6.636 butir pasir pantai di ujung timur kota ini. Di bawah kelapa, di depan hutan bakau, di dekat warung perahu. Kau, dengan anakmu. Saya, anak saya. Kita tersenyum. Bahkan itu cukup untuk menjawab pertanyaan yang sudah saya siapkan dari rumah (dan mungkin kamu, dari rumahmu, juga. Mana saya tahu). Kamu bergerak, berusaha bertanya. Angin berhembus, ombak berdebur, dan saya tersenyum lebar. Tanpa dibuat-buat. Kau tertawa, tidak jadi bertanya. Saya memperhatikan gigimu, mungkin kau sudah tidak merokok lagi. Lalu tercetus pertanyaan lagi. Kau lihat itu di mataku, dan tersenyum. Mungkin lebih lebar dari senyum saya. Sampai senja berisyarat, dan realitas memanggil, kita tidak berhasil bertanya. Bahkan yang tidak ditanyakan, sudah dijawab lebih dulu oleh renyahnya tawa; dan lekuk senyum.
Ombak berlomba-lomba maju, lalu menarik mundur. Bunyi. 5 kali. Dan, kita pun pergi. Tanpa pernah menoleh kembali. Kau, pada istrimu. Saya, pada suami.

***