24.12.09

Saya sudah lama tidak menulis, tidak perlu minta maaf atas hal itu, kan? Kebetulan saja saya lebih memilih pena dan kertas untuk menuangkan ide saya. Sama saja jika saya lebih memilih membelanjakan 50 ribu untuk isi-ulang parfum dibanding majalah National Geographic, cukup karena saya mau melakukannya. Kemauan sebegitu berkuasanya sampai ia mampu mengendalikan pantat seberat apapun. Jika kemauan sudah berbicara, maka kau akan menjawabnya.
Saya sempat kesal karena ide-ide berbanjiran tanpa menunggu saya bisa mengetikkannya. Ide cerita tentang daerah-daerah tertinggal dan generasi kini, ide cerita tentang pria centil, ide cerita (janjian bareng, sebenarnya) tentang natal kelam, ide pentas seni, ide usaha, ide kegiatan kuliah, ide menghasilkan uang, dan ide-ide yang membujuk saya membuatkan mereka rumah. Namanya sudah diusulkan, ideavault. Pantat ini saja yang terlalu berat untuk bergerak. Sebal.
Saya menonton Virgin 2, kemarin. Dan Jermal, kemarin malam, dini hari, dan malam ini. Saya gatal ingin membuat ulasan. Tapi, gatal saja tidak cukup untuk membuat pantat bergerak.
Tadi siang, saya jalan-jalan dengan bang Freddy, inanguda, dan Patricia (dipanggil Olu). Menemani mereka ke butik (Mega Busana), dan tukang jahit (gang Satam). Saya kepingin saja, tahu tukang jahit yang kreatif dan berintegritas tinggi pada karya-karyanya. Juga, kenal dengan pedagang tekstil, serta akrab dengan 101 tekstil (err... seluk-beluknya.) Untuk ini, saya akan mencari saja informasinya dengan bantuan google.
Saya sempat menyusup ke akun facebook seorang senior di smp dulu. Sekarang ia sudah berkuliah di Universitas Presiden. Saya gatal melihat-lihat fotonya. Saya juga masih bingung apakah jadi masuk situ atau tidak. Karena, Bandung itu menggoda, tahu! Udara dingin, galeri-galeri kecil, batas bias kota-desa (bayangkan saja malamnya berpesta di teras depan Plaza Dago, lalu siangnya tidur-tidur laiknya Kabayan di Kampung Daun (Oke, anggap contoh saya salah. Tidur-tidur di penginapan sederhana di daerah Lembang). Jikapun saya berkuliah di Universitas Presiden, mungkin berakhir pekan di Bandung juga tidak apa-apa. Sabtu-Minggu, nginep di rumah a la homestay dengan biaya murah, tapi tetep enak. Hotel, bolehlah, kalau saya sudah bisa menghasilkan uang. Menulis, mungkin? Atau bekerja di bidang komunikasi. Atau.... menari dengan turn-table sebagai DJ? Whoa, save it for later! :p
Omong-omong, tadi, tanggal 24, kebaktian malam di gereja. Saya mengenakan jas karena mewakili wijk (sektor) untuk membacakan liturgi. Di akhir kebaktian, diadakan perjamuan kudus. Karena saya baru mendapat ijin ikut perjamuan kudus tahun ini, inilah kali pertama saya mencicipi tubuh dan darah Yesus. Dan, saya menangis. Oke, pengennya nangis. Cuma, air mata ndak keluar semua - -“
Saya terharu, karena ini adalah (mungkin) natal terakhir saya di gereja ini dalam 3 tahun ke depan (padahal tahun depan bisa saja saya libur kuliah dan ke sini, kan? Berlebihan). Ya, saya berterimakasih atas perjalanan yang menarik ini, serta meminta maaf karena terlalu sering bergantung pada keberuntungan. Saya juga mohon ijin menarik diri dari segala keberuntungan itu, dan mulai berusaha mandiri. Spontan memang menarik dan seru, tapi, saya harus memberi batas untuk itu. Jika hubungannya sudah menyentuh hajat hidup orang lain, saya seharusnya lebih matang lagi dalam mempersiapkannya.
Ingat jabatan saya sebagai koordintator forum PMI kota Pangkalpinang? Saya belum banyak berbuat apa-apa. Majalah belum beres, Aksi lapangan belum tampil, sistem, pun, belum dibenahi. Call me a baaaaaddd coordinator. Yah, walaupun saya sering ngotot kalo saya ini “the good manager”. Puih.
Enggak ngerti bikin akhiran/penutup, sih. So, here goes.

Sisipan

Di antara masa-masa sibuk mencari waktu untuk melanjutkan belajar menulis skrip film dan/atau proposal program televisi, ide ini tiba-tiba jatuh. Walaupun akan berbeda dengan cerita yang satunya, (Seni: melalui indera-indera), saya tetap gatal untuk meletakkannya di suatu tempat. Jadi, inilah:

--------
...lalu kita bertemu di atas 6.636 butir pasir pantai di ujung timur kota ini. Di bawah kelapa, di depan hutan bakau, di dekat warung perahu. Kau, dengan anakmu. Saya, anak saya. Kita tersenyum. Bahkan itu cukup untuk menjawab pertanyaan yang sudah saya siapkan dari rumah (dan mungkin kamu, dari rumahmu, juga. Mana saya tahu). Kamu bergerak, berusaha bertanya. Angin berhembus, ombak berdebur, dan saya tersenyum lebar. Tanpa dibuat-buat. Kau tertawa, tidak jadi bertanya. Saya memperhatikan gigimu, mungkin kau sudah tidak merokok lagi. Lalu tercetus pertanyaan lagi. Kau lihat itu di mataku, dan tersenyum. Mungkin lebih lebar dari senyum saya. Sampai senja berisyarat, dan realitas memanggil, kita tidak berhasil bertanya. Bahkan yang tidak ditanyakan, sudah dijawab lebih dulu oleh renyahnya tawa; dan lekuk senyum.
Ombak berlomba-lomba maju, lalu menarik mundur. Bunyi. 5 kali. Dan, kita pun pergi. Tanpa pernah menoleh kembali. Kau, pada istrimu. Saya, pada suami.

***

Laporan Pertanggung Jawaban

Nah, ini yang udah beberapa waktu ini nyentil saya. Buanget. Yang di info itu, lho. Music, Book, Movie, Tv Show, saya kan harus jelas sukanya kenapa. Nah, karena di Facebook sempit, saya taro di sini aja.

Music :
Norah Jones. Durhaka betul kalau saya tidak menaruh ia di musik favorit. Lha, ibu ini yang ngenalin saya ke Jazz, koq. Saya suka suara serak manja-nya. Dan, yah, kesan “have been thru a lot”nya itu, lho. “Was in despair but still playful”. Yang masih terngiang: Not My Friend –Suka banget sama intronya- ; My Dear Country –Whoaaa, gregorian sekali. Plus, tema politik? Hm.- ; Carnival Town –Bayangkan diri anda sedang bermain di taman bermain. Sendirian. Jangan. Bayangkan kota ini tempat berpesta, namun tidak ada satu orangpun kecuali anda.- ; Seven Years –Tentang menari?- ; Painter Song ; One Flight Down; The Nearness of You; the Long Day is Over ; Cold Cold Heart – yang genit :p –

Jamie Cullum. Tidak terlalu banyak lagunya yang saya ingat. Tapi, aksi panggungnya dan gaya dia yang playful itu, lho. I (minor) hype this chub. Old Devil Moon, Mind Trick, Twenty Something,
Michael Buble. Paradoks penyanyi satu ini adalah ini: Klasik namun Modern. Gimana, ya, doski sering bawain nafas-nafas lama dengan gaya yang sama sekali ndak kuno, sih. Well, name, Wonderful Tonight. Dan, jangan lupa, nyanyi diiringi big band seperti pada Feeling Good? Hype Hype Hype!
RAN. Belum banyak, sih. Reza sampe kira saya penggemar yang punya seluruh albumnya. Baru kepincut Tunjukkan Cintamu sama Ratu Lebah.
Maliq N d’Essentials. Buanyaaakk. Tapi, yang sekarang inget: Kita Jatuh Cinta.
Andity. Walaupun saya tidak terngiang kualitas-kualitas mengagumkan dari penyanyi ini, tapi, masih inget, koq, lagu Merenda Kasih dan Marah yang dia bawakan.
Bibus. Agak-agak lupa, tapi dulu sempet hype.
Bandanaira. Apalagi kalau bukan pembawaan lagu-lagu Nusantara dengan gaya Jazz? Cinta Indonesia, misalnya.
Mocca
Dewi Lestari. Waktu masih album Out of Shell.

Laporan Pertanggung Jawaban

Nah, ini yang udah beberapa waktu ini nyentil saya. Buanget. Yang di info itu, lho. Music, Book, Movie, Tv Show, saya kan harus jelas sukanya kenapa. Nah, karena di Facebook sempit, saya taro di sini aja.

Music :
Norah Jones. Durhaka betul kalau saya tidak menaruh ia di musik favorit. Lha, ibu ini yang ngenalin saya ke Jazz, koq. Saya suka suara serak manja-nya. Dan, yah, kesan “have been thru a lot”nya itu, lho. “Was in despair but still playful”. Yang masih terngiang: Not My Friend –Suka banget sama intronya- ; My Dear Country –Whoaaa, gregorian sekali. Plus, tema politik? Hm.- ; Carnival Town –Bayangkan diri anda sedang bermain di taman bermain. Sendirian. Jangan. Bayangkan kota ini tempat berpesta, namun tidak ada satu orangpun kecuali anda.- ; Seven Years –Tentang menari?- ; Painter Song ; One Flight Down; The Nearness of You; the Long Day is Over ; Cold Cold Heart – yang genit :p –

Jamie Cullum. Tidak terlalu banyak lagunya yang saya ingat. Tapi, aksi panggungnya dan gaya dia yang playful itu, lho. I (minor) hype this chub. Old Devil Moon, Mind Trick, Twenty Something,
Michael Buble. Paradoks penyanyi satu ini adalah ini: Klasik namun Modern. Gimana, ya, doski sering bawain nafas-nafas lama dengan gaya yang sama sekali ndak kuno, sih. Well, name, Wonderful Tonight. Dan, jangan lupa, nyanyi diiringi big band seperti pada Feeling Good? Hype Hype Hype!
RAN. Belum banyak, sih. Reza sampe kira saya penggemar yang punya seluruh albumnya. Baru kepincut Tunjukkan Cintamu sama Ratu Lebah.
Maliq N d’Essentials. Buanyaaakk. Tapi, yang sekarang inget: Kita Jatuh Cinta.
Andity. Walaupun saya tidak terngiang kualitas-kualitas mengagumkan dari penyanyi ini, tapi, masih inget, koq, lagu Merenda Kasih dan Marah yang dia bawakan.
Bibus. Agak-agak lupa, tapi dulu sempet hype.
Bandanaira. Apalagi kalau bukan pembawaan lagu-lagu Nusantara dengan gaya Jazz? Cinta Indonesia, misalnya.
Mocca
Dewi Lestari. Waktu masih album Out of Shell.

Err.. hai

Err.. hai.
Sudah cukup lama saya tidak “buang hajat” di sini, ya. Saya terlanjur cinta pada ujung presisi pena, bau arang pensil, dan garis-garis horizontal (yang mirip partitur,) pada kertas. Saya sibuk mengkhayal, membuat lingkaran-lingkaran peta pikiran, Charta, Diagram, Struktur, Tanya-Jawab, Permasalahan-Penyelesaian, Sebab-Akibat, dan... (berniat meneruskan serapah ini? Tak usah, ya.)
Kini, saya kembali untuk memberi pertanggungjawaban. Saya menghadap kamu sekarang untuk menjelaskan keadaan kita yang lalu dan kini, juga apa yang akan kita lakukan kini dan nanti.
Saya baru sadar blog ini membosankan pembaca. Dan, yaaah, apa yang bisa saya harapkan dari blog yang isinya kisah sehari-hari? (dan itupun tidak vulgar, sebagaimana yang disukai pangsa pasar media). Eh, saya malah berharap dapat komentar. Lucu, kan? Mengharap dapat komentar atas apa yang sebenarnya dialami sehari-hari. Itu kalau masih komentar, lha, ini? Kadang saya ngarepnya dipuji. (Kalo kelewat, bilang aja.) Karena itu, saya akan mulai mengorganisir. Liat label-label posting pada blog ini? Kelihatan sekali saya tidak niat membuat semua ini teratur. Itu akan kita ubah. Saya menawarkan 3 label besar: Idea Vault, The World Reviews dan Ember Muntah (Err.. bisa diganti).
Idea Vault akan menampung gagasan-gagasan saya yang seharusnya bisa hidup. Daripada menunggu konsep-konsep ini dibayar, saya jejerkan saja gratis. Toh, sebenernya, originalitas itu ndak ada. Ide sebenarnya adalah materi energi. Ia bisa saja melompat dari cerebrum yang satu ke cerebrum lain. Ini yang memungkinkan adanya pembacaan pikiran. Nah, kalo saya sebenarnya tidak sadar mengambil ide orang yang lewat atau yang blognya saya mampiri, moso’ saya harus minta bayar atas ide tersebut? Yah, lain urusan kalo nanti saya beneran kerja dan dikasih proyek (serta diberi tugas konsepsi rancangan).
Ember Muntah (atau apapun nama lainnya nanti), tentu saja, akan menjadi penampung omel-omel personal saya. Be it infatuations, perils, travails, you name the mood! Karena ini label besar, mungkin akan saya perinci menjadi beberapa label kecil. Khusus yang ini, mungkin berdasarkan mood.
The World Review, sebagaimana ia berbicara, akan menjadi ruang saji bagi ulasan-ulasan saya atas apa saja. Dan, yah, label kecilnya –kemungkinan- : Seni Berwujud (Produk Kreatif –Kuliner, Musik, Teks, Gambar), Pertujukan Seni (Acara, tentu), Fenomena (D’oh, apa saja yang terjadi.), dan, mungkin, produk (Err.. Shower Cream, misalnya :D )
Yah, nanti, mungkin, rancangannya saya buat di kertas dulu.
Sebelumnya, ayo kita cari-cari kekurangan si blog ini:
- Templatenya gimana? >> Saya, koq, ndak tega menggantinya, ya? Kemungkinan, saya akan buat 3 blog baru dengan template yang berbeda. Karena, moodnya juga beda, toh? Paling nanti maling dari btemplates.com
- .... >> (Sebelum dikasih tau masalahnya, saya sudah buat jawabannya) Eksposur diri saya akan diperbanyak. Dengan achtung! Achtung!, tentunya (*Peringatan. Tau sendiri gimana galaknya saya di fezbuk)
- ... >> Iya, iya. Nanti saya buatkan button yang banyak. Untuk apa saja, sih? Twitter, IM, Plurk
- ... >> Hyperlink di tiap post akan lebih dibuat tahu diri. Kalo udah jelas-jelas merujuk pada informasi yang terdapat di situs tertentu, atau pihak tertentu, mbok yo dibuatkeun tautannya.
- ... >> Formatting? Termasuk di template, lah. The mood, mon bebe, is the fatal embryo.
Ada lagi, nteu? Sambungannya belakangan, lah. Serius, saya harus balik lagi ke Speedy biar lebih puas berselancarnya.

3 Fiksi; (masing-masing) 5 Baris; tanpa tanda baca: (Kecuali judulnya ini)

**dituliskan berdasarkan urutan lahir

Jikapun kelak saya jadi laki laki saya saya akan jadi laki rumah tangga yang serba bisa manajemen domestik rumah uang masyarakat keluarga setiap kali ia pulang saya akan menemaninya duduk di sofa ruang santai menanyakan kabarnya lalu memberi sentuhan masseus pada tangannya punggungnya lalu naik lagi ke kepalanya kemudian kakinya menggelitiknya sedikit sampai ia lebih meluapluap lalu menemaninya mandi berendam dalam air hangat yang telah saya taburi kelopak mawar


Berada di atas tidak selamanya memuaskan kadang saya kepingin mencicipi posisi yang pasif dan pasrah saja bukankah memang sifat manusia yang menginginkan apa yang ia belum punyai dan mengidamkan yang belum ia rasakan saya tidak salah dong jika sesekali melemahkan diri dan membiarkan yang lain menang permainan dibuat untuk menyenangkan pemain bukan memenangkan semuanya jika kebutuhan saya adalah untuk menjadi lemah mengapa saya harus berlelahlelah mengejar semuanya kusir saya adalah kebutuhan bukan ambisi untuk menang


Setelah mengenakan handuk ia akan membopong saya ke kamar tidur biasanya jika siangnya saya tidak terlalu sibuk tempat tidurnya pun sudah ditaburi kelopak mawar jendela sudah tersingkap tirainya lampu jingga dan suasana kamar dibuat temaram di kamar tidak saya sediakan minuman biasanya karena di kamar mandi tadi saya sudah siapkan susu madu hangat kopi hazelnut dengan sirup mint dan cheeseloaf coklat bolabola dan anggur semua aphrodisiac agar ia kembali meluapluap

By the End of the Book. (PresUniv, UI-UGM, STAN, UNPAR)

-Ini sebenarnya saya curang, lho. Curang sekali. Ini bukan postingan blog, melainkan postingan thread di sebuah forum. Karena udah janji sama Kak Rina supaya ada yang bisa diceritain, here goes.-

(Ini harusnya ditaruh di Kampus atau Sekolah, sih? )
Err.. Mungkin ini bisa buat temen-temen kelas 3 lain yang bakal lanjut kuliah juga.
Begini: Tanggal 19 Oktober tahun ini, saya ikut tes beasiswa President University yang diadakan skala regional.
Tanggal 21, Acceptance Letter yang menyatakan bahwa saya meraih beasiswa kategori 1 (Full Tuition Fee Coverage) sampai melalui surel. Bapak saya jadi orang pertama yang saya beritahu. Tapiii.. err, responnya itu, lho. Ngasih selamet aja, ndak - -" Dan, yaaah, itu beasiswa cuma dilihat sebagai bagian dari promosi marketing si kampus untuk dapet mahasiswa - -"
Akhir Oktober, Acceptance Letter berikut Brosur sampai melalui surat pos.
Awal November, Telepon dari pihak kampus, memberitahukan bahwa bukti pengiriman uang sejumlah IDR 3 Juta untuk biaya Matrikulasi pra-kuliah telah sampai atas nama saya. Juga, mengingatkan kembali untuk mengirim kembali Acceptance Letter setelah ditandatangani.
(Ternyata si bapak mau jg ngirim. Pas ditanya, katanya untuk menghargai saya yang udah susah-susah tes.)

Sampai sekarang, pembicaraan kami adalah seputar: Saya yang meyakinkan bapak tentang President University, dan bapak yang memaksa untuk ikut tes STAN (Beliau ingin saya masuk situ), juga ikut tes UI, UGM.
Dan, yah.. untuk menambah jejeran opsi, saya juga melirik UNPAR karena reputasinya yang bagus untuk jurusan Hubungan Internasional.

Untuk STAN, saya sama sekali tidak berminat. Ekonomi, perencanaan finansial, dan ilmu manajerial memang termasuk bidang-bidang yang saya minati. Namun, untuk S1 ini, saya sudah punya rencana duluan. Saya ingin ilmu luas. Yang tidak praktis. Politik? Saya kepincut HI duluan.

Untuk UI-UGM, belum yakin juga kalau tes bisa diterima.

Dan, mengenai acuan kerja nantinya, bidang-bidang yang menjadi incaran saya adalah: Organisasi Non-pemerintah, dan Industri Media.
-Pilihan kedua dan ketiga untuk jurusan perkuliahan yang saya ambil adalah Kewirausahaan dan Jurnalistik. Daaann, dulu sempat (dan sekarang masih)
tertarik pada Antropologi.

Okeee... mulai ngalur-ngidul - -"
Sampai hari ini, keputusan masih lebih condong ke President University. Itupun saya sudah berusaha melupakan mimpi-mimpi terdahulu untuk tinggal di Bandung (ikut klub Fotografi, ikut klub Menulis, Hunting bahan baju+ tukang jait untuk bikin baju sendiri )

*Lha, terus masalahnya apaan?
Yah, itu. Kalau ada yang kebetulan mampir ke thread ini bisa ngasih pertimbangan untung-rugi nya, menambah referensi saya (dan mungkin bisa dipake teman-teman lain).
Dan, yaaahh, setidaknya, saat memilih nanti, saya akan memilih dengan disertai pengetahuan. Intuisi tetap berjalan, namun disertai pengetahuan. Setidaknya bukan tebak-tebak berhadiah, walaupun itu juga mengasyikkan.
Kebetulan punya waktu untuk berbagi referensi?
Terimakasih!

Kontraproduktif.

Hello again.
Entah sejak kapan –mungkin 2 mingguan ini saya merasa dihujani tanggung jawab. Dunia melebar; tangisan manja membanyak. Semua –termasuk tubuh saya minta diperhatikan.
Mulai dari yang menemani saya saat pergantian hari, deh: Kamar tidur. Aduh, luar biasa berantakannya. Paperwork –mulai dari buku, majalah, sampai kertas ulangan harian- , kosmetik, elektronik, sampai sampah-sampah kecil; semua dengan jahatnya berserakan di kamar saya. Beberapa hari yang lalu, sih, sempat lebih ringkas. Saat ada waktu, saya kelompokkan tiap-tiap barang. Masalahnya, bidang datar untuk meletakkan barang di kamar saya itu terbatas. Belum lagi ada aplians elektronik yang mati suri di sini: komputer personal milik abang, komputer personal milik saya –yang jablay semenjak saya punya suami baru (si lappie), sampai speaker milik abang. Ada juga yang masih rajin disentuh: Televisi kecil –yang tadinya besar, namun ditukar dengan jahatnya oleh kakak saya-, konsol PS2 yang sesekali dimainkan sepupu saat main ke sini. Kardus-kardus mau dihitung? Di kamar saya ada 5! Beberapa memang jadi tempat berteduh (sementara) buku-buku pelajaran kelas 11 –beberapa yang lain jadi tempat ungsian baju-baju abang saya.
Ya, saya mengerti: Ini lebih mirip gudang daripada kamar, kan? Sayangnya, saya tidak tega membiarkan buku-buku saya kedinginan, kesepian, dan diganggui tikus-tikus, jika ditaruh di gudang belakang. Saya harus sempat membersihkan gudangnya, meletakkan wewangian, memperbaiki kursi selonjoran; sayangnya. Sayangnya, sesuai pembukaan saya, dunia sedang minta diperhatikan.
Mari, temani saya membuat daftarnya sesuai lokasi:
- Sekolah: Saya menjadi penggagas Smansa Art Week. Sayangnya, sekolah sedang tidak bisa mengakomodir agenda-agenda lebih banyak lagi. Eh, saya malah dijadikan koordinator kompetisi berdongeng dalam bahasa Inggris. Kesannya, koq, politik citra sekali, sih? Lihat saja lomba-lomba lainnya: Kompetisi membuat dan meluncurkan roket air, Cerdas cermat tata tertib sekolah (mi dios!). Tapi, ada yang menyenangkan, walaupun tidak termasuk perlombaan: akan ada delegasi dari ASEAN yang akan ke sekolah saya. Entah apa yang akan mereka lakukan. Tapi, ini kelihatannya akan menyenangkan. Dan, berguna sebagai referensi, tentunya. Karena, pada International Relations majoring yang akan saya ambil, ASEAN charter termasuk pada lingkup pelajarannya. Tanggung jawab lainnya: membantu beberapa teman –hari ini baru Iga dan Diska, menemukan fakultas yang tepat sesuai minatnya.
-Hampir lupa. Saya juga harus berperan sebagai editor untuk majalah sekolah yang baru digagas. Kemudian, saya juga ingin menuliskan surat untuk kepala sekolah, karena, di depan kantornya sudah ada kotak saran, sekarang. Pasti menyenangkan!

- Rumah: Beberes kamar. Ini wajib. Mengelompokkan buku-buku dan majalah (Bahkan, jika sempat, memberi label pada tiap-tiap barang, kemudian membuat daftar inventariat-nya). Lemari buku yang lebih ringkas –lemari baju yang demikian juga, Arkivasi kertas-kertas ujian sekolah, bentuk cetak presentasi seminar-seminar, juga sebisa mungkin agak tega membuang yang sebenarnya tidak terlalu perlu.
Nah, jika kamar sudah beres, saya pun tidak perlu stres jika kamar sebelah –si kakak dengan bayinya memerlukan bantuan saya. Minggu-minggu ini, saya suka tertekan jika harus membantu sang bayi –karena mikirin kamar yang sebegitu seremnya. Walaupun, ujung-ujungnya senyum juga liat si bayi . Lha, gimana ndak stres, kadang, kamarku masih berantakan, si kakak sama bayi sama mama suka tiduran di kamar, sambil nonton sinetron Cinta dan Anugerah. Bisa nangis aku!
Oh, ya. Kepingin membuat desain untuk workspace juga: tempat baca koran, tempat baca buku, tempat baca majalah; tempat nulis, tempat ngerjain tugas, tempat bikin draft; tempat main laptop, tempat ngerjain tugas di laptop, tempat mbikin presentasi sama memoderasi foto di laptop.

- Organisasi: Saya jadi bendahara untuk organisasi remaja di gereja saya. Dan, ini berarti, harus bantu juga untuk acara natal. Belum lagi, sifat saya yang langsung nyebur kalo lagi banyak inspirasi –saya ngajuin untuk bikin liturgi dengan bahasa sendiri (biasanya ayat-ayat). PMI, udah agak longgar, lah. Koordinator Forum yang baru sudah dipilih. Tapi, saya kebagian jadi dewan penasihatnya lagi. Ampun!

- Tubuh: Mulai dari outfit sampe kosmetik: Baju-baju dan celana yang lebih menarik; kosmetik dan toiletries yang lebih enak; sampai parfum yang sesuai occasion. Sempet ngidam beli EDT-nya Adidas. Yang Ice Dive, notes-nya terdengar uenakkk!

*belum selesai, tapi udah gatel pengen diunggah.

Rouge Maiden

Menceritakan kembali kepahitan tidak pernah semenyenangkan yang saya bayangkan. Peluh dingin mulai rintik mengembun; mata berkabut dan pekat gaduh. Ijinkan saya mulai agar kita punya kisah untuk dibaca: Kala itu surya masih kemuning; namun saya tidak dapat melihat dengan jelas. Udara tidak terik; namun raga saya tidak lekas diam berpeluk rasa nyaman.
Kala itu hari Selasa, sejauh saya ingat. Tempo saya jadi luar biasa perasa. Hari bayang saya diikat nelangsa tak mau lepas juga. Saya tiba-tiba ingin hujan turun saja. Basahi petak saya berpijak; ijinkan tanah longsor; dan bawa saya terkubur di dalam. Ijinkan saya tenggelam dalam diam hitam. Atau, angin saja dibuat ribut. Jangan bawa saya terbang, itu terlalu indah. Yang saya butuhkan adalah kekacauan. Terbangkan meja atau papan tulis di depan saya dan biarkan mereka menimpa saya agar lekat pipih rapi. Atau sengat matahari, lelehkan kaca jendela dan biarkan saya terperangkap di sana.
Jangan biarkan hari ini biasa saja.
Pahit biasanya diawali manis atau dibayangi legit; agar saya bisa membandingkannya.
Pagi kala itu, saya menguapkan wewangian kesukaan saya: harum mangga dan markisa; vanilla dan musk; teh bunga dan methanol.
Pagi saat itu, saya mengenakan variasi seragam kesukaan saya: Seragam putih abu-abu dengan baju hangat warna merah darah; kaus kaki sepanjang betis dengan bordir bunga sedikit; kalung wool kecil; gelang kayu merah-hitam-hijau; dan bando putih. Membayangkannya sekarang berarti mengakui bahwa sesekali saya pergi ke sekolah seperti orang jual diri. Seperti prostitusi belajar di institusi.
Mengenangnya kembali berarti membiarkan pelupuk mata saya lembab. Saya jadi cengeng saat mengenang masa lalu; rapuh dan runtuh segala ketegaran yang saya bangun paruh demi paruh.
Jika saya menghentikan kenangan ini, maukah kamu terus mengamati tarian bibir saya? Atau jentikan hentak jemari ini mulai membosankanmu; membuat matamu perih dan tengkukmu pegal?

Kala ini, sore hari: saya dikulum rintik hujan dan digelitik angin dingin. Bergegas saya mencari tempat berteduh; lalu sampai. Tiba saya dan meletakkan payung segera; bergegas-gegasan mencari atap teduh. Payung hitam; jaket hitam; mata hitam: kini saya sang janda hitam.
Atap itu meneduhi warung kopi. Jangan bayangkan Starbuck. Ini warung kopi Bu Dabar.
“Sore” yang menunggui warung tersenyum. Menu disodorkan.
Saya balas tersenyum, “Ya”. Menunduk sedikit, “Terimakasih telah menyediakan atap. Kopi hitam panas, jangan pakai gula, dan minta satu mangkuk es. Terimakasih.” Saya tersenyum lagi, mengembalikan menu, dan melihat ke arah matanya, lalu tersenyum lagi.
“...” Ia seakan ingin bertanya, namun tunda. Mungkin henti. Tanda tanya terlanjur ia telan, tidak semudah itu untuk dikeluarkan.
Saya membuat diri terhibur dengan melihat ke luar. Beruntung warung ini punya jendela yang besar; pemandangan kota kala hujan seringkali membuat saya tersenyum. Dingin; kelam; berangin: ia ingin sesekali meminta pada angin untuk mengajarinya melayang. Mungkin dengan cara itu ia tidak perlu tergoda menelan hashish dan malu pada diri sendiri karena membatalkan janjinya untuk selibat dan tetap suci. Sayangnya, tidak keduanya. Angin tak bergeming; dan dirinya terlalu penakut untuk menelan hashish.
“Kopi hitam?”
Saya melihat matanya, lalu menatap baki.
“...” Ia diam lagi.
Saya menatap matanya, kemudian tersenyum.
Saya mengerti jika mereka –yang mengantarkan pesanan- selalu ingin tahu orang macam apa yang memesan pesanan seperti itu. Apa kamu juga?
Kopi hitam tanpa gula; masih mengepul.
Jejari saya mendekap gelas dan mengijinkannya berbagi hangat. Saya dekatkan ia ke bibir saya, lalu membaui kepulnya. Ini kopi medan: wangi cengkeh dan seakan pernah dicelupi daun jeruk, ia asam segar yang tidak manis. Ramuan panas, kelam, asam, perih. Puas membauinya, saya mulai mencelup bongkah-bongkah kecil es batu – yang bahkan berbentuk mirip batu. Pecah pipih-pipih. Saya membiarkan 3 bongkah mengapung pada kolam hitam. Mengamatinya meleleh; lalu ingin ikut.
Kamu masih ingin tahu, orang macam apa yang memesan kopi hitam pahit dengan batu es? Sini, saya jawab: orang yang patah hati menahun karena satu-satunya yang bisa ia peluk di dunia ini hamil saat sekolah. Pacarnya yang perempuan –yang laki diputusnya malam-malam saat berani memonyongkan bibir-. Hari selasa, kala itu, ia ingat. Ia tidak melihat sosok sang perempuan muncul pada gerbang. Hanya ibu yang bersangkutan, dan surat. Surat bohong –untuk apa mereka tulis surat jika sirat sudah begitu jelas?- berisi keterangan bahwa yang bersangkutan akan cuti sekolah untuk satu tahun, dan akan mengejar ketinggalan pelajaran dengan ikut program menyekolahi rumah atau sekolah di rumah atau apalah itu.
Teman sekelasnya tahu jelas. Yang bersangkutan sudah beberapa bulan hamil. Dengan siapa pun semua tahu. Semua kecuali ia. Cerita akan hambar tanpa goda sesumbar: semua jawaban jadi bias dan pertanyaan muncul babar blas; “Bukannya kemaren dia mau gugurin itu kandungan?” “Eh, masa sih hamil? Emang seheboh itu, ya?” “Cowoknya beneran yang itu? Bukannya dia gaul sama yang lain juga?”
Tak perlu menunggu satu bulan; dua minggu berlalu, dan berita hangat untuk sabtu pagi sudah berganti berita kepala.
Saya tidak bisa melupakannya. Melupakan ia –bukan sensasi yang ia tinggalkan sebagai kenang-kenangan sekolah-.
Ia satu-satunya yang ada di sana saat saya pikir semua orang di dunia adalah pengusaha oportunistik. Ia menggantikan organisasi keagamaan yang saya kira fundamental. Radikal ternyata tak berarti fundamental. Mereka adalah para modernis tanggung; dipikirnya dengan agama orang boleh diatur-atur. Seingat saya agama itu hubungan saya dengan yang di atas. Bukan dengan para penjamah dari organisasi yang mengaku ditunjuk Tuhan. Saya punya nilai-nilai yang saya hargai; dan tahu cara cecara yang dalam mengamalkannya. Secara relevan. Tidak didaktik.
Hiperdermis sesekali dikuliti; yang selesai waktunya pun akhirnya berganti: Saya ingin mengembalikan semuanya pada relevansi.
Saya mimpi jika merancangkan apa yang seharusnya terjadi. Hak memilih pun kadang berbenturan dengan nurani lemah yang mengangguk iba melihat orang lain mengulurkan tangan minta tolong –padahal hari sebelumnya merekalah yang menjulurkan lidah tiap kali saya hadir. Atau diam-diam menunjuk dengan jari tengah tiap kali saya berdiri. Saya memang lelucon prostitutif.-
Masa lalu memang biasa diceritakan dengan tambahan sana-sini. Dikurangi juga sini-situ jika sang empunya pemalu seperti saya.
Anggap saja ini muntahan seorang yang kecewa; paduan suara orang-orang yang merasa dikhianati: muntahan yang selalu berwarna namun tak jelas asalnya apa.

Who. .are. .you?

That’s a 3 words question that always spawns aeons of silence pause.

Err.. Saya selalu ragu saat ditanya begini (the tell-us-about-you thingies). Dalam kejadian-kejadian formal –forum, kelas baru, dll- saya biasa membacakan apa yang secara okasional saya tuliskan di formulir data anggota/ peserta: Nama (Johan Anugrah Pardamean Tampubolon); Umur (17 tahun sekian-sekian); Tempat, Tanggal Lahir (Pangkalpinang, 7 Juni 1992); (Saya rasa Status Marital, Nama dan Pekerjaan Orangtua, tidak terlalu penting untuk disertakan. Atau penting?) Single; Belum pernah menikah (oh, well, bahkan berpacaran saja belum). Saya sekarang masih SMA. Kelas 3. IPS (Is this a scholarship application or something? - -“)
Saya ragu apakah kondisi serebral dan fluks solar plexus akan relevan untuk waktu-waktu mendatang (karena perubahan saya tidak pernah memberi notifikasi terlebih dahulu. Apalagi reservasi). Tapi, saya pikir akan menyenangkan untuk membuat anda bosan. Jadi, bersiaplah. I’ll spill you on things that have piqued my interest :)
Relevansi saya dengan proyek ini: Beberapa bulan yang lalu (Saya lupa pernah menuliskan gagasan ini kapan), saya ( dan mengajak seorang andro) merencanakan untuk membuat blog keroyokan dengan judul Young Fine Q; Yang akan berusaha memuat tulisan-tulisan dengan misi mengurangi ke-alay-an muda-mudi queer. Kami (tadinya) akan membahas “Do’s & Dont’s”; “Hots “& Nots”; Fashion & Grooming; Ide-ide menghabiskan waktu (review buku, musik, dan ide-ide aplikabel lainnya). Sayangnya, kami seorang prokrastinator kronis. Penundaan terlihat begitu menggoda.
Saya adalah apa yang orang-orang sebut “super-absorbent sponge”. Saya nisbi. Saat berusaha mendefinisikan ( i hate this word) diri dengan satu sifat tertentu, semesta dengan manisnya menunjukkan saya yang sebaliknya. Mudahnya, saya seorang peniru! Saya akan terobsesi dengan seorang penulis tertentu dan mengikuti jalan pikirannya (dan tidak mengakui itu. Plus, saya akan menghina sang penulis); Semesta juga (dengan manisnya, lagi-lagi) akan menunjukkan keterkaitan saya pada suatu cerita (baik film, buku, dan tutur kata). Saya jadi rajin (sebelum semesta menunjukkannya dengan vulgar) menemukan benang-benang sinkronisitas antara saya dan apapun di sekeliling saya. Hal ini bisa menyebabkan kondisi mood yang baik, atau sebaliknya: Saya akan jadi depresif, suisidal, dan melankolik (imbuhan –is menunjukkan pelaku, atau “orang yang –“). Mungkin saya mengidap Bipolar. Tapi, karena belum pernah memeriksakannya, dan saya rasa juga tidak semudah itu mendiagnosa melalui gejala-gejala ringan, saya rasa saya hanya melebih-lebihkannya.
Saya tertarik pada Psikologi, Antropologi, dan Filosofi. Tiga ilmu ini adalah ilmu serakah, karena menuntut saya untuk tertarik pada hampir semua ilmu. Ya, sebut saja semua. Dan, bukan ilmu murni saja. Saya selalu berusaha mencari fungsi aplikabel dan relevansinya dengan kekinian.
Saya juga penggemar fotografi mobile (karena tidak punya uang untuk membeli SLR, tentunya). Juga, Arsitektur, dan Desain (Oh, how i love aesthetics!). Saya juga salah seorang dari orang-orang gila yang berpendapat bahwa semua orang adalah seniman! Semua orang berekspresi, kan? Menulis, Menari, Menunjukkan emosi, berkarya, semuanya! Mengutip dari Anton Ego dalam Ratattouile: “Not everyone could become a great artist; But, a great artist could come from anywhere” Err.. tidak secara vulgar relevan. Tapi, intinya begitulah: Semua orang (ralat. Semua entitas dan deitas) adalah seniman!

Jangan tuntut saya karena bercerita kepanjangan.

What If I Could Tell You This?

Pada mulanya, sebagaimana kebanyakan hal bermula, adalah mimpi. Impian itu lahir besar, namun rapuh; Indah, namun abu-abu; Meledak-ledak dan berpijar, namun tidak panas. Orang-orang yang saya temui, beberapa mengatakan: Hanya mereka yang tidak menyerah yang berhasil merajut mimpinya menjadi bayi yang bergerak; yang dapat dilepas ke dunia; yang kepemilikannya tidak lagi hanya milik satu ruang di serebrum semata. Saya tidak setuju dengan ini. Menurut saya, impian yang gagal dirajut tidak mutlak milik mereka yang menyerah. Seringkali, (bahkan lebih sering dari mereka yang menyerah) rajutan yang tidak sempat dilahirkan adalah milik mereka yang pelupa.
Impian itu, sebagaimana simpul kusut dalam benang, dapat muncul kapan saja; pada siapa saja; dan di mana saja. Kali ini, satu datang menimpa saya: Saya bermimpi akan menceritakan ini; hal yang berhasil membuat saya menertawakan dunia tiap kali mereka membuat lelucon. Hidup ini lucu, sungguh.
Cerita ini dimulai dan berakhir tanpa ledakan. Jangan mengharapkan yang berlebihan.

Satu: Integration, Eh?
Satu hal yang jadi bahan tertawaan saya adalah segala hal yang berbau kesatuan: integrasi, semangat kebangsaan, nasionalisme, dan, yang mungkin akan jadi favorit: politik. Hal-hal yang saya sebut ini, sering dimispretasikan; disalahtafsirkan dengan sengaja, atau tidak sengaja; juga, dijadikan alat tipu-tipu.
Sebagaimana yang telah saya tuliskan pada paragraf ketiga, ini bukanlah cerita yang hebat. Saya hanya akan bercerita tentang apa yang terjadi dalam area yang selama lebih dari 2 tahun terakhir ini saya pijaki hampir setiap hari: sekolah saya.
Upacara senin, saya adalah satu dari mereka yang berteriak menyebutkan nama sekolahnya dengan awalan seruan “Hidup!”. Tapi, tanpa niat diam-diam (karena saya ribut sekali), saya adalah satu dari mereka yang duluan mencibir saat ada yang memuja sekolah kami dalam pujian penuh sirik. Saya harus katakan ini pada mereka: kalian telah dibohongi.
Pelabelan sosial adalah satu contoh keahlian politik manusia: memberi klasifikasi pada orang-orang, siapa yang masuk kotak kawan, siapa yang masuk kotak lawan, dan siapa yang masuk kotak pun tidak usah. Jangan salahkan politik untuk hal ini. Ia hanya mengabdi pada etimologi yang iseng-iseng saya runut: Poli untuk banyak, litik untuk pecah. Ini adalah taktik pecah belah. Pertanyakan lagi konsep integrasi anda.
Integrasi yang sebenarnya adalah terhubung secara keseluruhan. Bukan pemisahan kawan-lawan, bukan menjadi nomor satu untuk menyisakan nomor buntut. Integrasi adalah bersama kelompok mencapai tujuan bersama, melakukan apa yang baik bagi dirinya, dan apa yang baik bagi kelompok. Seperti yang disinggung teori Ekonomi Modern: Jika beberapa pihak mengejar 1 tujuan, tidak akan ada yang menang: Semua perang, Semua berang; Semua bertabrakan; semua berantakan.
Lakukanlah sesuai kemampuanmu yang bisa kamu berikan untuk kelompok, tanpa perlu memperebutkan kemenangan atas pihak lain. Dunia akan indah jika petani memberikan beras pada penjahit dan nelayan, penjahit memberikan jaring pada nelayan dan pakaian pada petani, dan nelayan memberikan ikan pada petani dan penjahit. Ini, adalah integrasi.
Sekolah kami, menjadi bagian dari permainan politik ini: Sebagai politik domestik, maupun politik ekstra-areal. Domestik, adalah pemberian label secara koersif bagi tiap-tiap anak. Terkadang, yang terjadi adalah keberpihakan implisit: anak-anak tertentu yang diberikan imunitas terhadap sanksi dan penalti, anak-anak tertentu yang dijadikan prioritas dan dilayani layaknya melayani tamu restoran (senyum 24/7, dan disuapi tiap kali makan –ini bohong-). Yang eksplisit: Anak jurusan IPA berhak menerima hak lebih dulu dibandingkan anak jurusan IPS, anak pejabat dijadikan prioritas dulu dalam mendapat beasiswa dan program-program pertukaran pelajar.
Saya benci ikut-ikut memberi label.
Tapi, sayangnya, posisi saya sekarang adalah pewarta. Saya menceritakan sebuah cerita. Saya belum puas membubuhi cerita ini dengan pandangan saya. Belum.
Saya berusaha keras untuk tidak ikut-ikutan memberi label. Sayangnya, usaha saya mungkin belum cukup keras. Walaupun temporal, saya juga ikut-ikutan menghina urakan anak IPS dan menghina oportunitas anak IPA. Lagi-lagi temporal, saya menghina guru-guru yang menjadikan sekolah ini area berpolitik.
Saya sadar, sebagai pelajar, tugas saya adalah belajar. Sekolah ini, (terimakasih), karena kebaikannya, telah memberi saya bahan belajar yang melimpah: (atas nama relevansi pada subjudul kita,) Politik. Saya belajar tentang keberpihakan, saya belajar tentang efek citra, saya belajar tentang penipuan, saya belajar tentang penyatuan semu, saya belajar tentang bagaimana berkhianat demi mencapai posisi puncak. Membayangkannya, saya jadi semakin ingin berterimakasih.
Saya bingung bagaimana menuliskan kesimpulan untuk subjudul yang ini. Saya terlanjur keceplosan dan latah mengetikannya di bagian-bagian yang terserak di seluruh tulisan. Saya kurang sistematis, maaf. Tapi, saya coba buat kesimpulannya: Integrasi tidak memberi rumus yang definit dalam pewujudannya. Namun, jikapun ada: sebagaimana setiap rumus, rumus ini juga akan memiliki variabel. Ya itu, faktor x yang tidak menentu. Karena itu, selesaikan membaca tulisan ini, dan lihatlah ke luar: buat peta kasar yang menggambarkan pihak-pihak yang terlibat dalam integrasi semu ini. Beri masing-masing keterangan mengenai seberapa banyak kuasanya, apa yang ia berikan bagi keutuhan, dan apa yang ia terima. Mereka yang memberi paling sedikit namun menerima paling banyak adalah ia yang berada di balik semua kesemuan ini: sang dalang. Setelah mengetahui ini, tertawalah. Dan buat peta baru tentang bagaimana penyatuan ini seharusnya berbentuk. Gambar, lalu sebarkanlah. Tempelkan di tembok, tempelkan di jalan, tempelkan di tiang listrik. Kampanyekan persatuan. Jangan kampanyekan partai. Karena, sebagaimana politik berbuat demikian, partai juga menginginkan dominasi. Dengan kata lain, kemenangan atas pihak-pihak yang kalah.

Mediokrit dan Mediokritas
Err.. saya gemas. Subjudul ini sudah sedikit saya singgung pada subjudul sebelumnya.
Mediokrit berarti makhluk yang mediokritasnya tinggi: orang-orang tengah, orang-orang sedang. Inilah mereka yang tidak masuk kotak. Mereka yang pelit, karena itu tidak disebut baik. Namun, tidak memasukkan kegiatan menghina sebagai hobi, untuk disebut jahat.
Mereka ini sebenarnya beruntung, lho. Karena, merekalah yang kemanusiaannya masih dihargai: mereka yang kompleksitasnya tidak dipaksakan berada dalam satu kotak pelabelan sosial. Namun, beberapa masyarakat membentuk mereka menjadi mainan di luar kotak yang diteriaki: “STD!”. Atau, “Dangkal!”. Atau, “Average Joe!”. Atau, “Gak jelas!”.
Oh, well, saya sebenarnya menaruh benci pada arus utama (mungkin anda lebih familiar dengan kata mainstream?). Tapi, saat independensi diberi label, saya jadi membenci keduanya. Oh, ralat. Saya membenci label. Label-lah yang sebenarnya jahat. Ada beberapa teman saya yang tidak jadi menaruh keroncong Waldjinah dan Gesang pada daftar putar (err.. playlist) di telepon genggamnya. Hanya karena orang-orang bilang itu “Ga keren!” atau “Tuwir!” atau “Kuno!”. Tapi, coba, deh, dipikir lagi. Saya saja meragukan keberadaan “orang-orang” itu, koq. Gimana kalo sebenarnya, yang selama ini kalian sebut opini masyarakat itu hanya omelannya segelintir orang atau beberapa orang yang kebetulan omelannya mampir ke kuping kalian? Generalisasi itu palsu. Bangsanisasi dan Ideologi juga kesadaran palsu.
What if i could tell you...
...that the world has been lying to you, most time?
Abstrak dan Konsep adalah kata benda definit untuk menjelaskan hal-hal yang infinit. Menutup diri pada satu abstrak atau satu konsep tertentu sama artinya dengan menutup diri pada perkembangan.

How to Rule the World and Overdeal Racial Discrimination

Getting weary of being dwellers to L’archipel Indien? Being “Those Opressed People from the East”? Or, if I’d been more into real sarcasm, “Those People with equal C of Culture and Corruption ”?
Yeah, sure. Like it matter.
There are a lot of way for wannabees like you to be eccentric, to stand-out amongst people. Here are some. Try it. A stare won’t morph you from the Ugly Duckling to Ballet Swan.

1. Be an eccentric one. Think like you don’t belong to the circle. Go laugh at serious matter. Elaborate games. When people see it “Monopoly”, you see it “Alternate Reality Program: Climbing Up to a Tycoon and Purchasing the World by Bucks Not Even Your Own”. Or, at “Quake”, “Doom”, or “Counter-strike”. It’s not how others see it. They’re really a “Survival Training Program: How to Get Back at Terrorist, Monsters-Bigger-than-Bad-Tempered-Teachers, and Looneys-Crazier-than-Ivan”. Yeah. Those are the real picture. You were fooled when they said “It’s all great game!”. They’re not a-just-game. They’re far more serious. Want proof? Google for how much fund they spent on making things that spawn fun. Well, world’s a big liar, mon frere.

2. As for laughing at serious matter, mind your terrain. Don’t say it out loud. You might hurt people. Tsunami is really wave too big as a reaction to a stone too big thrown too fast at the water too big. Hah! Now, you see who’s the big drama? Terrorism is another one: Scared babies up-grown with no ability (and people-who-got-ability who had the will to help) to cure the scare. Instead, they met peers along the way. Fraters and Sorores who share-bear the same terror. Well, they end up making a team who could blow up towers, cafe, and make America blue, while Middle-East Red. Great colouring, pal!
And, to make it worse. Big Brothers wants to join the game: they put the babies in jail, execute them when they think it’s time, making other babies continuing the play. Making it an endless shuffle. A game with amazing replayability. Real-Time strategy with infinite deathmatch. Game is never over. Bah!

3. Mock at stupid jargons that even the l’genesis have no idea on what difference it will gave birth to: Literary Journalism (in more laughable languange: Jurnalisme Sastra), Science Fiction: What are those things? Jurnalisme Sastra, you’re first to mock: Journalism is a way, an ideas of mankind (on future, all livingbeing) materializing their memory into a more solid surface (read: having a diary with lifesucks-lifesucks-lifesucks, in endless repetition, written all over it). And, what’s with Sastra? Ideas on how human write things never their own? Wrong, fool. It’s just a way people put their ideas into. Covered in shady details, or naked in vulgarness, they’re still A LIT. So, what’s so different? Both are ideas on how to make others read about you (‘coz they won’t care to listen to your broken-pitch voice). Why differs?
And, for the second one (SF, it’s your turn, now): So, subsconcious-superconscious, you’re saying that you’re making science-less writing this whole time? Making a crap from your extracerebral imagination? #2 attempt wrong, foolish. Imaginations are science, too. All this world is science. Oh, come on! Don’t tell me you were sleeping at school. Ah, I expect too much from you, i see. This universe is science, you-snoring is science, you-feeling jealousy is science, you-banging your head at stressful time is science, you-attracted to a cutie while having a firm relationship is science, even you-being prefering a member of the same sex in doing steamy phantasm is science! The world is just a big laboratory!
Differing science from real life is as pathetic as seeing difference in Science Classes and Social Science Classes. Plus, as stupid as believing that Science is an enemy to Deism Study (AK-to mediocrite-As Religion). Oh, come on! Believing-slash-Faith is a theory of Brain Study! Of Psychology and all. And, yeah, sometimes Politics, Economics, Anthropology, Sociology, too. It’s all in the lab. So, fool you.

4. Don’t put yourself in a grief, mediocrite. Mediocrity is not a bad thing. At all. I’m not lying. Look at my nose. It’s not pinochio, it’s just white. Geez, I’m just white-lying you! People from the mediocre box tend to accomplish their goal by ways shown in Tv. Mistake is, the good Tv don’t just show up easy. They need effort, jaunty-and-colourful one, which mediocrites are often (to not mention always) missing.

I put this note on idle for quite some days. And, here it goes: It ends without conclusion. Well, yeah, it’s not that easy, as well as difficult, to rule the world. You’ll need either delusion or damn sense of reality.

Lupakan Central Park


Lupakan Central Park. Coret Seine River dari daftar-jawaban-saat-ditanya-tempat-tempat-romantis. Sungai Rangkui di belakang Pusat perbelanjaan pun memantulkan pendar memikat saat saya ingat kamu. Kamu. Kamu dengan segala imperfeksi. Kamu dengan segala cela. Kamu dengan segala arogansi. Kamu dengan segala keraguan. Kamu dengan segala ketidakpastian. Kamu dengan gengsimu. Kamu. Kamu. Kamu.
Saya tidak tahu siapa yang harus disalahkan sekarang. Sang Ratu Adil ini harus mengakui bahwa yang bisa membuatnya melupakan hari buruk adalah seorang remaja, yang menggantung genitalia masculinis ke mana-mana, yang melarang saya baca buku tentang Syekh Siti Djenar hanya karena takut saya tersesat –A-Whaaatt? I already am, you boondock.-, seorang ego yang kurus kering –Boo. I would fancy a hunk better.-

Day #1 of Long-Dead Rising: Trip to Yesterday Times; Laughter; and (Brutal portion of) Contrafanaticism.



Yes. This is the first text after my temporal death.

Pada mulanya adalah lembaran foto; Foto itu tergeletak di ruang tamu; Foto itu dipegang dan dilihat sang Ratu Adil.

Saya, melihat foto-foto masa kecil Kakak dan Abang, segera mengusulkan perjalanan ke Toboali pada Mama. Semesta mengijinkan perjalanan itu terjadi pada hari ini: Rabu. 23.09.09 . Sebetulnya, saya tidak menyangka beliau akan menanggapi celotehan iseng itu dengan serius. (Ya, biasanya saya hanya melakukan pembicaraan satu-arah).

Kami berangkat pukul 08.00[1] . Saya ingin menuliskan banyak detil, sayangnya, saya sedang tidak bergairah untuk menuliskan jurnal perjalanan. Jadi, lagi-lagi, bersiaplah bosan.

Ah, ya, saya mengenakan Long-sleeved Tee HUGO; Jungle Camo Bermuda PASAR; Gladiator Sandals RAMY. +Fine Attitude =Man Whore!

Sebelum berangkat, (Oke, #pengakuan, kami ngaret sedikit. Jam berangkatnya bukan 08.00, tapi 08.40) kami membeli penganan sedikit: Kue-kue di Pasar-kaget Theresia, Bolesa di toko kelontong di sebelah Inggrid Cakeshoppe –dan Keik (cute ver. Of Cake) Ballu (Bolu); Kerupuk; Nutrisari Frut ‘n’ Veggie –Temporal Favourite-; C2 Green Tea Classic –REAL classic, less sugar, LESSS sugar- di toko yang sama (anak yang punyanya cakep :p)-

Then, off we go!

Kami melewati banyak desa. Menarik. Sekali.

Tante Femmy (Anggota rombongan –selain Saya, Mama, Kakak, dan Suami Kakak) menjadi entertainer yang baik, kali ini. Beliau bercerita banyak. Bergosip, tepatnya –Oh, how I love juicy juice of hawt gossip!- :Mengakui kekejamannya menolak menantu sebelum jadi menantu (Isu rasial. Beliau mau menantunya merubah gennya dari Flores menjadi Batak. Oh, well, mirip-mirip,lah!).



Saya mengutarakan rasa senang saya kepada sang tante karena Ia mengakui kekejamannya –yeah, l’Entertainee-. Kakak juga tidak mau kalah berargumen bahwa perjuangan cintanya tidak kalah seru. Ramailah mereka, asyiklah saya ber-facebook ria +mendengarkan Norah Jones, Dewi Sandra, Christina Aguilera –ja, Beautiful. Is that too obvious? *roll eyes-, Joss Stone, Jason Mraz (bukan si I’m Yours dan Lucky yang teroverrasi (overated, anyone? Puh-lease) itu, ini yang Details in the Fabric, Beauty in Ugly, sama yang laen-laen, pokoknya bukan Duo Overration itu); KT Tunstall (saya masih ngerasa dia ngomong sama saya lewat lagu Universe and U sama yang Under the Weather); trus isi mixtape “I’m Yours to Keep”yang didonlot dari mixplustape.blogspot.com –nya Noran Bakrie &fatner (hihihi, it was fun doing typo error intentionally like that); trus, Amy Winehouse. Oh, Andien juga ada. Trus.... ...is this really that l’Importante? Tulung, ya, tutung.. Kalo mo ngintip daftarputar saya jangan di sini, deh.

Kami melewati desa Terak. Saya langsung celingak-celinguk cari tempat makan supermi yang ada dek ke laut-nya seperti kata si Dancu. Ketemu, sih. Tapi, ntah jelas atau ndak di kamera. Noise +distorsi gede-gedean.

Keliatan?

(Waktu itu si Binaa –Robina- sama Dancu bulan maduan gitu –bohong. They love me but they aren’t queer-. Yah, seenggaknya trip mereka waktu itu termasuk telanjang-telanjang di SUATU waduk gitu, deh. Contact management for more deep dig (nyinggung birokrasi).)

Yah, pokoknya, -emfasisi- Tante Femmy banget-banget-banget jadi entertainer di bagian awal perjalanan. Saya teteup asik denger lagu sama FB-an *centil. Mama juga cari cerita biar ndak kalah heboh *yeah, that’s my mom. Kakak konstan memproduksi argumen. Bapak Paima (Panggilan untuk Ayah dari keluarga yang belum punya anak. Pa-ima artinya menunggu. Or, in modern human language: Waiting list. To keep things relevant, Bapak Paima is Suami Kakak).

Sampai akhirnya kami sampai juga pada akhirnya di Koba. Saya langsung sibuk sms-in Kak hanan_dimmy. Isinya centil gitu, deh. Kalo mau baca, kamu harus jadi temen saya dulu, ya. Kita heboh ngebahas besok saya (oh, well, yang heboh Cuma saya) akan pakai baju apa: Kemeja +Jeans +Loafers; atau Tee +Bermuda +CK Boxer –yes, it’s Calvin Klein! IDR 75,000.00 dibeliin mama di outlet (yang ngaku jadi Factory Outlet) di Bandung.- +Gladiator Sandals. Ahh, she told me I’m cute by skin. So, sopan-sopan (intensi mula/ first Intention) mending disimpen buat acara lamaran aja. So, deal, it is. I’ll just be my self tomorrow. I’ll just be another man whore :p



Trus, ke WC gitu, deh. Palette warna pintunya bagus. Trus, ada aksesori hidup gitu, deh. Apa namanya? Oh, iya, serangga berkumis.












Di depan WC selalu ada tembok (kayak yang saya temuin waktu Trip Jawa Timur tahun kemarin). Dan, sebuah peradaban menarik selalu berbaring di balik tembok. Menunggu difoto sang Ratu Adil. So, there it goes. Sebuah foto porno –karena ada gunung dan gumpalan putih. I know u’re just that dirty!- di balik tembok.

(Karena kelamaan, mood nulis keburu ilang :( Please, please, do wait for the mood to strike)


--------------------------------------------------------------------------------

[1] Dalam WIB

Away From Home

Mon dieu, je vous manque.
In a mood flux, lately. Bad one.
It started out of the blue, with no early warning.
Yesterday is something i forgot.
Today, is me realizing that home is not here, now; that i was still alone; and ego is the best companion i’ve been having, also sweetest enemy.
Being delusional is sometimes useless, as much as comical. I felt like a clown in a show where i don’t belong: inexist. Unreal. Invisible. Broken. Useless.
I talk. I think. But, i can’t do. I am useless.
I thought i had a friend. I was wrong. Friend is not something i can posess. They live. They’re free man on their own. Not opressed people. Not purchasable good i could play with. Okay, some is (purchasable and playable). But, actually, you don’t own them whole. You can’t. People got mind that walks. And soul that wanders. Free man fight for freedom. Free man hates the idea of being a private property, though they love having privacy.

Mankind are one mystery. While the Earth is another. Universe brings you surprise-in-a-box ocassionally, though sudden. Secretly, though visible. Virtuos, though cracked.
There’s always some things behind things. There’s more than meets the eye. There’s more below the tip of an iceberg. You don’t predict all by the first blink. You should stop and see. Rest and glare. Pause and observe. The mystery is really, truly enjoyable.

I’m not home, now. Not the one comfortable. Not the one giving me calm; serenity. I missed my home up there. My somebody up there. It’s hard to went through this phase of being human. Of being a being who got a broken trouble dispenser surrounding. The being appreciate the joy; the lesson. But, can’t he confess it when he’s really tired? He’s just telling the genesis that he missed him (or her).

It’s now not a crossroad that lies beyond him. It’s before that: a foggy forest. His eyes staring at the sky, while legs rooted on the ground. He put his mind on something. Not a very big thing. Only real. He’s been too much tired thinking about dream. Dream is not a thing he should be thinking, i think. He should enjoy it while it last. Every inch. Every bit. Every pixel.

I’ve been blabbering too much, it’s not specific anymore. It’s personal writing, anyw. It heals, it helps, it relieves. So, why not?
The desperate whoreboy doesn’t end his blasphemy here.

Mood Flux: The Down Side.

Saya pikir, dengan menyimpan segalanya pada catatan yang tidak dalam jaringan, ia akan berempati atas telur ayam: yang menetas setelah dieram. Ternyata, telurnya busuk.
Sebelum sempat menuliskan gagasan-gagasan menarik, saya keburu depresi.
Sekarang saja saya menertawakan pelatjur.

Lonesome+Despair+Naught= Long Desperate Neglectance.

Saya merindukan orang yang salah.
*coret
Saya pikir saya merindukan orang yang salah.
*coret
Saya bingung, apakah saya merindukan orang yang salah (atau tidak).
*coret
Saya bingung, apakah saya salah memikirkan objek rindu ini.
*coret, remas, garuk kepala

Saya lebih baik memikirkan abstrak yang bisa saya peluk dalam mimpi (atau layar putih)! Selama sasaran kangen ini seliweran dalam kepala, saya makin merasa seperti kutjing: Gatal, Centil, (Egoistis), (Malu-slash-mau), dan (meminjam istilah sang fuego nymphae,) murah!
Mungkin akan memalukan. Tapi, inilah saya jika kamu bisa "meneropong" tingkah saya di rumah: Sesekali gelisah, sesekali ingin sms (tapi bingung mau sms siapa), sesekali pingin nge-daring-in hape tapi pulsa udah dikasih judul boros.

Saya kangen dia. Dia. Dan dia. (Bagi yang kenal saya, tahu kalo "Dia" ini jamak :D)
Err.. ya, the worse object to be missed:
-(bulky)Boy who love girls.
-(hunky)Boy who got girl.
-(twink)Boy who (is warm and flirty -though arrogant and narcisstic- and) got girl.
-(cute)(Hindi)(and Nihon-jin) Boy who i never talked to.
-(cute*)(Dum-dum) Boy who had talk and flirt but is famous of his (overflowing) horn (from horny) for girls.
-(hunky) Male who is already with someone

PLUS "I don't have the guts to text them a flirty message!"

Oh, yeah, i Am Desperate!
*= at certain distance

[Tambahan] Parahnya, hari ini saya dipegang-pegang, dan saya suka. Ini tanda kesepian parah, kan? - -" [/Tambahan]

Kamu.

Rindu mengelitik saya untuk memikirkanmu, nomina abstrak yg lama tidak muncul dengan wujud utuh.
Gelisah membuat saya rabun: membuat saya kesulitan menggenggam persona tunggal yang seharusnya dapat membuat saya muncul tanpa terpecah.
Saya menjadi sekomposit dengan porselen, kamu tahu? Saya mewujud retak yg kekal (ia-yg-ingin-menjadi-fuego nymphae menyarankan saya untuk menyerah saja. Sebab, ia pun sedang sibuk memikirkan kematian.
Segala teorema tentang siklus solar plexus (,yang sering saya ruapkan tiap-tiap kali seorang teman mengeluhkan hidupnya yg terlalu berpeluh keruh,) lolos; tidak tertangkap. Padahal, sekarang saya yang menjadi subjek dengan verba "mengeluh". Haruskah saya menggandakan diri agar ada satu lagi ia-yang-berbuat-baik-dan-seringkali-ada-walaupun-sesungguhnya-ia-durhaka,-makhluk dukkha yang bertaring di tengkuk dan di muka? Haruskah saya memberi wujud pada bayangan agar saya ganda?
Kamu selalu bersembunyi tiap-tiap mulut saya berhawa tanda tanya! Kesal, nih!

Telah menyelesaikan (lagi) Supernova 2.2: Petir. Dari siang, mata saya tidak lepas. Pusing, sih. Tapi, tidak terbiasa berdiam diri kecuali meditasi. Atau, saat tiba kondisi muted (ini istilah. Miutid. Bukan mbutet). Menjadi sakit berarti terjebak dalam mekanisme: eat-vomit-eat-repeat.
Segala hal dijadikan mainan: amplop paperline yg dimainkan huruf-hurufnya (perline=plain. P-a dipakai a-p menjadi envelope. Terciptalah hubungan: Paperline - Plain Envelope.)
Menjadi sakit juga membuat otak sibuk komat-kamit. Walaupun mulut sudah ditutup sempit. Merutuki bapak yg mengomeli teman yg menjenguk, lah. Kesal pada si abang yg centil chatting dan telpon cewek, lah -karena saya tidak rela ia mengakhiri hubungan dengan kak Lisa yang di Bandung, yang begitu baik pada saya-. Iba juga hadir. Kepada mama yg 'dipaksa membeli' filter air seharga 7juta 500ribu yg dijual mantan ibu bos.

Ada satu yang kompleks: saya kesepian, tapi panik jika ada yg akan menjenguk. Paradoks sejenis memang dari dulu subur. Saya kepingin punya sahabat yg menginap di rumah dan rumahnya saya inapi. Tapi, untuk mengundang ke rumah, koq, saya yg enggan?

Sebagai penutup, saya selipkan 2 cerita:
-saya diinjeksi di bokong.
-baru hari ini gosok gigi

[tambahan] saya juga sering cemburu pada si abang yang selalu dibilang ganteng. Tidak, bukan saat sakit ini saja. Saya sadar, koq, wajah sakit saya serupa genderuwo. Tidak tahu diri sekali jika ada genderuwo yg berharap dipanggil "hoi, seksi!". Atau, "hey, hottie! Here, baby!". Wah, wah, kalau sudah begitu, saya jadi sekedar makhluk penuh delusi, dong!

Entri Kemarin. July the 11th

Agenda saya lumayan sibuk! Namun, saya menyempatkan diri menulis gagasan-gagasan kecil untuk dipublikasikan di blog. Saya ingin membuat blog (yang sekarang ini) menjadi lebih terorganisasi. Tag-tag yang lebih spesifik: Idea Vault (Gagasan-gagasan kecil yang bisa dimanfaatkan orang lain yang punya waktu dan kemauan lebih), Do-More-To-Favour (List of good things), Le Questionnaire (Question Marks to elaborate), Being "HIM" (Personal thingies: On Mock to Shook the Crook).

Masing-masing sedang dielaborasikan untuk mencapai konsep yang lebih matang.
Di sela-sela persiapan MOS SMAN 1, saya juga menyempatkan diri menyisipkan gagasan-gagasan yang mendukung "organisasi" ini: Menonton "Ugly Betty" ; Membaca Madison Avenue: Membangun+ Membangkitkan Merek Global. (Ketemu lagi -hari ini- di rak majalah Femina mama.); Membaca Dhammapada dan Itivuttaka (I know, it's not pop. But, yeah, i'm those kind of people that you should takes time to really understand); Vivara- Pengantar Bahasa dan Kebudayaan Jawa ; dan, hari ini: Rambut baru! Ah, u should see! I'm sexier!

Dan, tahu tidak, yang membuat saya harus membagi diri: MOS: Si Robi A.K.A. Rambo whichis Ketua Panitia kalo rapat pengurus inti, ngajak saya terus - -" Jelas-jelas pangkat saya cuma anggota MOS X3. Heran!; Forpis (yang saya belum tahu kepanjangannya) yang biasa saya sebut Forum PMR: Saya koordinator cabang, dan baru hari ini selesai menemukan bagian relevan dari buku Manajemen PMR. Dan, parahnya, saya menemukan bahwa Mekanisme dan Alur Koordinasi Forpis yang saya jalani ini salah. (Saya mengaku salah, dan minta maaf!); Acara Keluarga. Banyak, euy: Ke Kebun (makan Babi. Yang mana saya tidak ikutan. Saya makan di rumah. Tapi, akhirnya, sore hari dimasakkan Telur Ayam Kampung Dadar.. Aduh, merepotkan!); Dan, keasikan maen Empire Earth 2. Saya banyak berhutang! Ada poster yang belum diunggah ke sini (tante Kano mau lihat. Dan saya juga mau berterimakasih pada mama Popon yang membantu membuatkan posternya. (Selama mama yang satu nya sibuk -dan saya tidak mau ganggu-, saya bermanja pada mama baru. ))
So, here goes! (Saya membagi pikiran: menulis ini dan melirik ke kakak yang mengajak makan otak-otak)

[Ketemu di Halaman 14 Bulan Agustus 2008 di Jurnal (yang baru ketemu)]
Saat keinginan menulis muncul, langit harum dan kemerah-merahan yang pijarnya romantis.
Walaupun hari ini bukan hari yang sangat-sangat memorabel, setidaknya, patahan-patahan yang membentuk kesatuan yang, walaupun tidak utuh, manis.
By the time i was typing this, le ciel est gris.
Awan berkumpul dan keabuan.
----------
[Nah, yang ini ditulis di ruang MOS tadi:]
Saya menjadi bagian dari acara Orientasi Siswa Baru SMA kami. Banyak yang seharusnya bisa diceritakan: Saya dan dum-dum yang tidak lagi kaku;
D yang rambut barunya seksi;
M yang motornya lebih raksasa dari ia (Saya yakin itu pinjaman anak kelas XII tahun kemarin);
Saya yang merasa semakin laku, semakin percaya diri, dan semakin menikmati hidup.

Masalah terbesar hari ini adalah penyesalan atas impresi yang lebih diperhatikan dari ekspresi.

Anyws, found few cute photos on my going-groceries-shop-with-mom session. Here it is:
Colours
http://farm4.static.flickr.com/3658/3679695949_f3e24e14d0.jpg?v=0
Mama: Di antara merah dan jingga
http://farm4.static.flickr.com/3658/3679695963_d37f82abd9.jpg?v=0
7 Tokoh
http://farm3.static.flickr.com/2494/3679695955_d9e39b2b47.jpg?v=0
Memerah Kelapa
http://farm4.static.flickr.com/3663/3679695953_7ce3ec7cf8.jpg?v=0

- 15.30 went to Gramedia. Diska buzzed a SALE is going on. Yeah, SALE. The excitement's no more. Saya sempat kaget melihat L.S.D.L.F masih bertumpuk. Where do those Pride People go? Ayo, yang ngaku Melek Fashion. This one is an insider! Mon Dieu! Akhirnya, saya beli WIWARA: Pengantar Bahasa dan Kebudayaan Jawa -Intip sedikit untuk baca Djojobojo Javaans ver; juga Speak Out - Teddy Resmisari Pane (Untuk kedua kalinya Karena yang ini pingin diberikan ke Cynthia Wijayani. So she would consider Communication as a career path. Damn, she's lucky she got a caring husband like me! Gee!
Saya bertemu Bunga (adik kelas) di kasir. Tersenyum. Back Straight. Kali ini saya tidak swishy seperti saat biasa bersama dia dan gengnya. Matanya juga seakan memelas, memohon: 'Plis, jangan heboh. I'm with mom. Jangan sampe beliau sadar anaknya sekolah di kebun binatang. I've said please!'
Oh, yeah. Dan saya beastmaster-nya.

Khusus SALE, dibuatkan tenda di luar. Supaya SALE Craver sadar haknya beda dengan yang dari kasta Lihat-lihat-tapi-di-tempat-barang-mahal. Setelah membayar, saya pindah kasta.
Di dalam, saya langsung menuju mama yang sedang lihat-lihat (LIHAT-LIHAT saja) di bagian yang memajang majalah-majalah seputar Interior & Eksterior. Untung, dekat situ banyak novel. Saya jatuh cinta pada sampul novel-novel sekarang. Sudah pandai mereka mencontek sampul novel si Natsume Soseki, rupanya. Gee! I'm living in a nation with schools of Masters in Conterfeiture. Mon Dieu!
Ah, tapi ada yang cakep juga: buku fotografi! Sayangnya, germonya (penulis. I know i'm a drag-ma queen.) kelas atas. Yang dijual saja yang lebar-kali-panjang-kali-tinggi-nya akan sangat amat mencolok di rak buku saya yang isinya postur-postur tubuh kelas bulu, macam RD Asia. Ah mi Dios. Usted es tan travieso! Stingy-o!
Tau tidak, karena kakak saya sudah keburu pegal, saya buru-buru mengambil satu buku. Chicken With Plums-nya Marjane Satrapi! Mi Dios! Dengan terjemahan "Ayam dengan Plum" pada judul, seharusnya saya tahu ini jebakan penerbit Indonesia yang nyariin kerjaan buat pacarnya yang penerjemah. Bastardo! Naughtio!
Ya sudah, lah. Anggap ini uang rokok yang saya kirim karena sudah mendapatkan Persepolis lewat jalur unduh. Sampai seri kedua, pula. Je suis vilain!. Maaf, Marji!

- Home, until now- Saya mau mengunggah ini foto-foto. Sekalian buat daftar-daftar Was-Is-Done-Doing saya. Juga Fashion Wish. Ahh, saya buat draft dulu. I won't be distracted with comics, dramas, movies, or such. Or maybe i will? Like somemama i know.

(Mama, TA gimana? *browraise)

I'm watching the first season of Ugly Betty and House, M.D. just now. I know. Dan, err.. i watched a trailer of a porn from BaitBus. Sebagian, koq! I'm keeping my record of having-no-porn-at-all! Tenang saja, Pride People!

Satu. Lidah Kelu, dan Sayap Kaku.

Kamu menangis malam itu. Aku hanya disitu. Diam dan menunggu. Berharap keberadaanku berarti untukmu. Walau hanya diam dan kaku, aku berharap kau bercerita padaku. Kau cantik sekali mengenakan gaun itu. Tangisanmu saja, tak cukup melunturkan kecantikanmu. Lidahmu tetap kelu. Aku pun begitu. Setengah jam lebih kita disini tanpa saling menyapa. Apa kau sudah lupa rasanya tertawa? Apa kau menangis karena dia? Sudahlah sayang, aku selalu ada.

Gadis itu masih menangis. Tersedu – sedu. Ia memeluk erat gaun putihnya. Sesekali ia menjerit histeris. Hanya mendengarnya, sudah membuat hatiku miris. Kami masih diam. Tiba – tiba seorang pria datang dan menghampirimu. Wajahmu seketika berubah. Air matamu berubah menjadi api marah. Kau mencoba meraih apa pun disekitar mu. Bantal, Sepatu mu, Gelang mu, Kalung mu, Tas mu, -- hampir semua. Pria itu melihatmu bingung. Kau mencoba lari, tapi pria itu sigap dan menangkapmu. Kau meronta, berteriak keras. Sang Pria hanya menatapmu kebingungan. ”Kamu kenapa!” Ia bertanya dalam bingung. Kepanikan tergambar diwajahnya. ”Diam kamu... Peduli apa! Kamu hanya memikirkan dirimu!” Kamu menjawab dengan nada rancu. Marah, tapi tak jelas apa yang membuatmu marah begitu. Pria itu masih mencoba mendiamkanmu. Ia mencoba mendudukkan mu di tempat tidur. Kau terlihat mulai diam. Ia coba bertanya, tapi terhenti. Sepertinya lidahnya ikut kelu seperti kamu. Ia duduk disana, bersikap abai pada kehadiranku. Tiba – tiba kamu memelukku. Walau masih dengan lidah yang kelu, hatiku tersenyum. Aku bahagia dapat meringankan sedikit bebanmu. Walau hanya sekecil debu, lebih dari cukup bagiku. Tiba – tiba aku teringat sesuatu..

Pertemuan pertama kita begitu kaku. Kau yang masih gadis kecil, bingung melihatku. Kala itu, aku pun masih ragu, siapa kamu. Waktu menerbangkan kita dari titik yang satu ketitik yang lain. Dari tidak mengenal hingga jadi sobat kental. Dimana ada kamu, aku disitu. Walau kadang kau jauh, hatiku bersamamu. Kita satu. Tak terpisah Bhumi dan Kala. Lepas dari ikatan fisik dan aksara. Tak terikat ruang dan waktu. Masih ingat kah saat kau mengajakku berlarian di dekat batu gantung dekat danau toba? Sehabis kita bertamu dirumah tulangmu. Tulang Simanjuntakmu. Kau bercerita padaku, kau ingin menari. Bukan, bukan menari balet seperti angsa putih. Bukan juga menari polka seperti putri di kerajaan belanda. Kau ingin menari sebebasmu. Kau ingin bebas melompat. Bebas mengepakkan sayap. Dan ingin mengajakku bersamamu. Mimpi itu terus kau simpan. Walau dunia terus berusaha menenggelamkan mimpi indah itu. Mimpiku? Seandainya ada yang ingin tahu. Aku hanya ingin bersamamu. Dimanapun kamu. Siapapun dirimu kelak. Karena kita satu..









Tiba – tiba kau memandangku. Wajahmu terlihat tersipu. Ahh, senangnya tangisanmu sudah kusapu. Apa kabar dirimu, sayangku? Aku ingin bertanya padamu. Tapi lidahku kelu. Kalian mulai bicara. Kamu dan Pria itu. Lidah kelu mu mulai luluh. Tanpa menjujung tinggi rasa Ge-eR, mungkinkah itu karena ku? ”Bang, aku minta pulang.” Kata- katamu dibalut ragu. Pria itu memandangmu bingung. ”Kenapa? Aku salah apa, dek?”. ”Seandainya sesederhana itu, Bang. Aku mohon. Jangan tanya lagi.” Kau tidak menatap matanya. ”Berapa lama?” Pria itu bertanya padamu. Ia tak ingin melepasmu. ”Entahlah. Selamanya?” Kau tetap tak menatapnya. Ia memandangmu ragu. ”Tidak, dek.”. ”3 Minggu?” Kalian masih bertatapan ragu. Aku memandang matamu. Yang aku lihat, kau tak perduli apa jawabnya. Ya atau tidak, kau tetap ingin pergi. Kalian masih berbalut dalam diam. Lidah yang Kelu, Sayap yang kaku. Kenangan kita mengampiriku lagi.

”Ul..” Kau memanggilku lembut. Ku harap aku bisa menjawabmu. Kau masih memandangku. Seakan terbuai, kau lama memandangku. Aku pun memandangmu. Tiba tiba air mataku meleleh. Aku memelukmu tanpa berkata – kata. Lidahku kelu, sayapku kaku..

”Bang?” Kau masih memanggil dia. Dia tidak melirik kearahmu. Dia sedang menghadapi pertempuran besar. Antara perasaannya dan gengsi laki laki. Perasaanya menang. Air matanya jatuh. Tak ingin mengganggunya, kau pun pergi malam itu. Kau membawaku bersamamu. Langkahmu terhenti dipintu. Kau bingung mau kemana. Tidak ada pesawat yang terbang selarut ini. Kau mencari bus. Malam itu kau berangkat ke pelabuhan.

Aku ingin segera berkata – kata. Namun mulutku tak bisa menyuarakan aksara. Kita masih berpelukan. Erat. Kita kembali menjadi satu. Tangisku, tangismu. Hangatmu, hangatku. Aku mengambil kertas dan mulai menulis. Kau memperhatikan setiap kata. Setiap 5 kata pula, tangismu menetes. Lidahmu kelu, terbalut diam yang kaku.

Tidak ada kapal penumpang yang berangkat jam segini. Namun kau tak berhenti berusaha. Keinginanmu menggapaiku melebihi apapun. Kau menyusup ke kapal angkutan menuju Sumatra Utara. Kau bersembunyi diantara tumpukan ikan. Bau ikan - ikan itu tak membuatmu terganggu. Hanya setitik debu dibanding keinginanmu untuk bertemu diriku. Berhari hari kau menginap disitu. Tidur diantara tumpukan ikan – ikan. Makanmu? Apa lagi yang lebih lezat dari makanan yang terhidang di depan matamu? Kau memakan ikan – ikan itu mentah – mentah. Saat kapal telah dekat Sumatera Utara, tiba – tiba seorang dari awak kapal memergokimu. Kamu panik dibalut ragu. Lidahmu kaku.



Hari ini kepergianku menuju aceh. Seorang tun telah resmi meminangku jadi istrinya. Entah yang keberapa. Ibuku cepat – cepat setuju. Mungkin ia lelah merawat anak bisu seperti diriku. Aku sudah terbiasa dihina. Aku sudah terbiasa dianiaya. Ejekan dan umpatan hanya membuat geli telingaku –selama ada kamu. Tapi aku tak terbiasa tanpa dirimu.
Karena kita satu.

Kapal ikan itu masih berlayar dengan gagahnya menuju Sumatra Utara. Masih berlarian bersama angin Laut Cina Selatan. Kau masih terjebak dengan orang itu. Aku tak jelas mendengar suara kalian. Namun, kita masih satu. Aku telingamu dan matamu. Aku adalah kamu. Aku masih dalam tasmu. Ia mengancam mu. Ia meneriakimu dengan sebutan penyusup. Ia memaksamu menyerahkan tasmu. Kau menolak. Kau ingat aku masih di dalam situ. Kau mengambil tasmu sambil berjanji akan memberinya uang. Sebelum ia menjawab, kau sudah membongkar tasmu. Mencari aku. Tanganmu meraihku. Tangannya merangkulmu. Kau berontak. Meronta dan menendang. Kau berlari. Tak peduli arah tujuan. Sampai di pinggir kapal. Kau melompat. Satu harapan. Kau ingin bersatu dengan ku.

Waktu seakan berhenti. Semua ingatanmu berlarian dalam otakmu. Kau teringat wajahku. Senyum ku yang tampak bodoh. Namun membuatmu bahagia. Kau teringat sebuah surat. Surat terakhir dariku. Aku tak sanggup bertahan tanpa mu. Aku melompat sepertimu. Ke laut yang sama denganmu. Kau menangis dan memeluk aku. Aku? Ya, aku yang hadir tanpa batas ruang dan waktu. Aku yang satu denganmu. Yang tak terpisah Bhumi dan Kala. Lepas dari ikatan fisik dan aksara. Aku hadir dalam ulosmu. Kain tenunan ku yang selalu kau bawa kemana – mana. Yang kau bawa dalam setiap tarianmu. Yang kau peluk setiap kali kau lelap. Yang ternyata masih kau bawa sampai saat kau menyatu.

Kau tak merasakan dinginnya air itu. Begitu juga denganku. Biarlah. Aku ingin lepas dari ikatan ruang dan waktu. Agar dapat selalu bersamamu. Karena kita satu.

Selesai.
---------------------------------
Setuang – dua tuang Teh Hangat
Saya seorang yang kurang pintar merajut aksara. Bisa dibilang, ini cerita pendek saya yang pertama yang saya selesaikan dengan senyuman. Karya – karya sebelumnya tak tercetak dikertas. Hanya di lidah saja. Atau, lebih parah, hanya berupa konsep abstrak yang wara – wiri di kepala saya.
Saya selalu berkeinginan untuk menulis. Namun, jari saya tak terlalu lincah menari (Bohong, alasan resmi untuk menutupi kesalahan sebenarnya : Malas). Saya tak henti-hentinya bersyukur (Walau tidak dalam bentuk suara) kepada Tuhan. Siapapun dia, yang berada diatas sana. Tuhan, Yesus Kristus, Allah SWT, Sang Hyang Widi, Dewa Langit, Jehovah, Dei, Higher Power, Para Dewa, Para Dewi (Silahkan menambahkan sendiri). Karena Tuhan adalah konsep interpretasi yang unik dari tiap – tiap manusia. Tuhan, seperti layaknya cinta, merupakan refleksi dari pengalaman hidup manusia. Saya tidak bisa memberi batasan pada itu. Karena itu, demi mempersingkatnya, mari kita sepakat menuliskannya sebagai Tuhan (Hal sulit lainnya yang tak terselesaikan).
Syukur saya juga terbang kepada Mama. Sosok ibu yang diam – diam saya candu-i. Selayaknya pengguna obat – obat terlarang yang tak perduli apapun demi mendapatkan barang itu, saya pun tidak peduli dengan ejekan – ejekan ’Anak Mami’, atau apapun lah. (Memangnya ada yang mau jadi anak tetangga? Hehe). Bagi saya, ejekan seperti itu tidak ada artinya dibandingkan cinta beliau yang sudah selayaknya saya balas. Namun, sungguh, konsep balas membalas seperti ini tidak baik! Saya membalasnya bukan sebagai balasan. Tapi karena benci. Benar – benar cinta. Hahaha.
Syukur saya juga, kepada keluarga saya, komunitas social utama dalam perkembangan jiwa anak, Papa, Kak Lani, dan Bang Daniel. Tak henti – hentinya saya berterimakasih kepada Tuhan telah menghadirkan saya sebagai kado bagi mereka (hahaha), begitu juga mereka, kado bagi saya. 
Sebelum dilempar dan dibunuh orang – orang yang belum disebut namanya, saya ucapkan terimakasih kepada saudara – saudara jauh-dimata-dekat-dihati saya yang lain, Opung, Tulang, Nantulang, Uda, Inanguda, Bapaktua, Inangtua, Namboru, Amangboru, Ito, Lae, dan semua muanya.
Sebelum benar – benar dilempar (dan dibunuh), saya berterimakasih juga kepada teman – teman saya, dimanapun berada. Guru – guru (Dalam makna denotasi) saya, dimanapun berada. Serta semua orang yang telah mengijinkan perjalanan hidupnya bersinggungan dengan saya, walaupun sesaat. Baik yang mengenal nama saya, maupun tidak. Yang mana, semuanya telah menjadi guru (Makna Konotasi) bagi saya. Yang mengajarkan saya banyak hal. Juga yang mengajarkan saya untuk memetik pelajaran dari setiap kejadian. Terimakasih.

Akhir kata, sebelum lemparan dan bunuh – bunuhan menjadi nyata. Sebaiknya saya sudahi kata pengantar ini. Dan sekali lagi, saya ucapkan (yang seharusnya bergema jutaan—bahkan ribuan, kali lipat), Terimakasih.

[EDIT] Ini cerpen ketemu di My Documents setelah keburu ubanan. Waktu itu, ini jadi tugas bahasa Indonesia saya di kelas 10.

Daily Blabbers

I hav finished reading Lelekong Terindah!. But, err.. my after-taste was like: "Ah, si Andrei Aksancong itu terlalu utopis bin sinetronistis!" -then continuing [it was an sms to my one-of-happy-harem, Astari, i made it 160 char - 11 for efficiency: FYI]- "Ayo sayangku, kita buat cerita yang lebih nyata!"

Untung tak dapat diraih, Malang apel ijo-nya asem; gayung bersambut(!). She replied: "Ayo!
Q lg ngrancang crta, masi blum jls jd cerpen ato kbntuk yg lbh pnjang. Gaya lesbiolanya bgus. Dpet ide pas lg mandi (saat produktif: mandi n boker). K? Ujang?"
-FYI, K merujuk ke "ka"-dialek Bangka-: kamu -dalam bahasa Indonesia- dan Ujang adalah cerpen terbaru saya: Ujang Tidak Baik -Lihat di Forum Cerpen & Cerbung juga ada-

Saya ingin membalas ini [On SMS, i should remind u!]: Sama! ku dapet ide bagus waktu mandi atau be*ak. Tentunya mengajarkan bagaimana seorang Q muda yang "fine".
-lucu. Biasanya saya mengutuk keseragaman-
[End of SMS]
Sayangnya, pulsa habis. There.

Perlukah ini dibahas lebih lanjut? Saya punya cerita lain lagi: I wrote to Rizal Mallarangeng. Here goes: Johan Tampubolon berkata...

Err.. Rizal, i'm not picking side; but, here goes:
You don't have to be a president to weave that nice dream. Be something else; better: an Independent Hero.
Hero doesn't spend his money on campaign; he spend it on building a better workshop -with better Code of Conduct; better social welfare; more humane- on answering to the case of suffering labour in Indonesia.

Hero doesn't dream to much on wide-spreading the idea of fine youth; Hero does it now, Hero does it here: Go catch urself another dream weaver. Find youth with brilliant ideas. Campaign nationality, not self. Publish appreciation to creativity, not smiling picture of yours.

Be Hero, Rizal. Real one. The Hard-cored one.
--------------

Sayangnya, itu posting terakhir sudah setahun yang lalu. Mungkin semangat si kumis itu juga sudah redup. Bah! -Oke, Ms Dian Ara, i've breach HAKI and used ur trademark "Bah!". Curse me, tie me tight, anything!-

Err.. apa lagi yang harus saya ceritakan? Kecemasan? Ya, itu: kecemasan. Tampaknya, 2 hari ini saya terlalu memberatkan diri. Saya ketakutan akan apa yang akan menanti di hari minggu ini: Kampanye Calon Ketua Koordinator Forum PMR Cabang Pangkalpinang. Saya takut. Saya tidak yakin lagi pada diri saya. Ada yang tahu kenapa? Ada yang tahu? Anyone? -silence- Self-esteem case, u human!: Saya pencemas, dan sekarang takut jatuh terlalu dalam pada satu dunia. Tahu sendiri -bagi yang sayang-, saya penakut; saya selama ini mengikuti intuisi untuk tetap jadi pengamat. Sayangnya, kali ini berbeda. Ada bisikan lain: berubahlah. Yang saya ikuti bukan intuisi -mungkin-, melainkan konsolidasi atas stagnansi -mungkin-: Saya dan kemalasan saling membuat alasan untuk semakin dalam menancapkan akar-ikat masing-masing. Bodoh? Kenapa tidak ada yang mengingatkan? -nyalahin orang-. Oh, well, i'm confronting it by now. Heave ho, yo biatcho!

Sekarang apa, ya? Saya masih cerewet, nih. Pingin cerita acara belanja ke pasar kemarin, tapi lagi capek ngomel; taro fotonya aja, ya. Go see my blog!

I'm with looneys.

As i set my reverie free, i questioned my self: Is it me who is insane -and can't understand their concept of sanity-?
; Or them?
I feel like i'm trapped in an never-stopping carrousel: Spinning 24/7, never knowing what ending is like; never remembering where start is.
There's this one: who never listens.
There's other one: who never stop paying revenge.
More: those who speak+teach+guide; but miss hearing+understanding+acceptance.

...and among: there's this one who never stop losing to dreams; falling to reverie; losing consciousness by the pill of sloth: [Me.]

Now, who's crazier?

Hari ini, saya merasa jadi pemenang.

Saya merasa jadi si menang; si cerdas yang boleh mengangkat dagunya sedikit.                         Banyak hal yang membuat citra-hati saya cerah (dan boleh digambarkan dengan smiley senyum). Musik baru; Orang baru; Semangat baru.                                                                                   Sayangnya ada mimpi baru yang menambah berat daftar tumpukan.

[Judulnya juga salah satu OST Berbagi Suami. Dimainkan Aghi Narottama, Bemby Gusti & Ramondo Gascaro (2 nama terakhir: personil sore)]

[CERPEN] Ujang Tidak Baik

- Setiap hari, oom datang ke rumah. Ngobrol dengan ayah, lalu mengantar aku ke sekolah. 

- Setiap hari, saya datang ke rumahnya. Melepas rindu. Biasanya kami berciuman sebentar; saling sentuh - namun tidak lama-. Kami harus melakukannya dengan singkat. Karena, hanya ini waktunya: saat istrinya sedang ke pasar. Alasan saya? Mengantar anaknya ke sekolah. 
 - Setiap hari, ia datang ke rumah. Bercinta ringkas. Mau bagaimana lagi? Saya sudah punya istri. Bahkan, anak. Tapi, saya suka. Saya menikmati permainan ini. Saya merasa jadi pria yang hidupnya penuh tantangan. (Saya lelah dengan segala kebosanan). 
 - Hari ini saya akan membunuhnya. Saya tidak ke pasar. Saya beli sayur pagi-pagi di Ujang (tukang sayur keliling). Saat saya pulang ke rumah -sehabis nongkrong di pangkalan ojek di ujung gang, minta digoda-, Ia -si Ujang- biasanya sudah di depan rumah saya: akan mengantar si Buyung. 


[Hari ini tidak biasa] 
 - Aku sakit perut. Tidak sekolah. 
 - Anaknya sakit perut. Tidak perlu saya antar. Kami bisa lebih lama. 
 - Anak saya tidak sekolah. Tidak diantarnya. Kami bisa bercinta agak lama Saya bisa merasa lebih tertantang. Kebosanan mungkin terpuaskan. 
 - Buyung sakit perut. Saya tidak harus buatkan sarapan pagi-pagi. Mungkin bisa lebih lama di pangkalan. Jiwa ini rindu dipuja. Saya wanita yang perlu diingatkan bahwa saya cantik. Saya tahu saya cantik. Namun, kangen saya pada belaian lelaki: suami saya tidak lagi mesra (kadang itu membuat saya meragukan kepercayadirian saya). 

 - Ayah dan oom ngobrolnya ribut. Aku tidak bisa tidur. - Saya mendudukinya. Ia menggelinjang; mengerang. Ternyata saya lebih perkasa: dibanding dia yang selalu mau peran pria; saya lebih perkasa.  
- [Hanya sakit. Namun, tidak ingin lepas] 
- Sepeda Ujang kenapa diparkir di depan rumah? Bukankah hari ini Buyung tidak sekolah? Apa mereka bermain sekaligus dengan wanita itu? Keterlaluan, Ujang. Saya kira ia baik. Saya harus menghentikan ini. Sekarang, permainan sudah terlalu rumit. Saya singkap gorden kamar. Dan, ternyata: Tidak ada wanita; hanya Ujang yang tidak baik.

 TAMAT. ----------------------- Err.. ini dibuat tadi pagi. Pas ulangan Matematika. Selesai ulangan, temen baca dan langsung komen: "Gaya bicaranya ndak ada yang beda, ya?" Dan saya langsung mesem. Saya sudah berusaha agar cerpen ini tidak jadi cerita porno. Sayangnya, kebablasan.

Kali ini, hubungan kami membaik! -Coming Out saya pada si Abang-

Beginilah seharusnya kisah ini dimulai: Saya adalah selingkuhan tuhan -dengan huruf kecil-.
Namun, sudah beberapa minggu ini hubungan kami membaik. Ia sering datang menunjukkan kasihnya; Saya pun mulai jarang mengutuk.
Banyak cerita yang ingin saya bagi; ingin saya ijinkan lekat di sini, agar kelak bisa diintip lagi -sambil tertawa; atau tertangis-. Namun, inilah sulitnya menjadi si sini-kini: ingatan saya hanya sekecil kacang! -sehingga, jika kepala saya digoyangkan, akan berbunyi [klutuk, klutuk..]-.

Kemarin, serangkaian nilai dipertanyakan: individualisme, liberalisme, dan komando(isme).
Semenjak abang saya kembali ke Pangkalpinang, keluarga kami mulai sering berkumpul lagi dan berbincang-bincang. Sesekali pembicaraannya pelan (lebih banyak keras). Mama mengajukan pertanyaan: jadikah bapak seperti bapak sekarang jika tanpa keluarga? -tidak ada yang menjawab. Karena, -saat kami berkumpul untuk bercerita- tidak ada yang mendengar. Bagaimana mungkin ada konklusi jika semua sibuk merevisi yang lain?

...dan tadi malam, saya bercerita pada abang saya perihal seksualitas; mengenai saya yang tidak mau membohongi rasa -walau mengendalikannya-; tentang kemampuan saya menjaga diri untuk saat ini -dan keraguan saya atas longevitas status quo-.
Dan obrolan kami ditutup begini: "Keras kepala kamu melawan!".
Begitulah.
Saya berusaha membalikan nilai-nilai yang tadinya mereka pegang erat (seperti Yesus yang mencuci kaki muridnya): Liberalisme yang tadinya dibanggakan abang saya dan ingin ditularkannya pada bapak (,Namun malam itu ia mengutuk liberalisme yang terlalu bebas-tidak-bisa-diatur-seperti-saya.).
Mengenai kepala yang keras (yang membuat abang saya jarang berbicara lembut dengan bapak).

...dan, ya. Sesi bincang kami malam itu diakhirinya dengan pamungkas: "Kita beda 9 tahun, dek".
Terimakasih.

Saya lupa menuliskan: akhirnya saya memberi tanda tanya pada realita yang selama ini saya anggap nyata (,Dan sempat terpikir untuk jadi bocah desa saja.).
Namun, saya lebih senang menunda kebenaran. Jika masih ada waktu untuk melihat-lihat, kenapa saya harus memutuskannya dengan gesa?
------------------------------------------------------

Mengenai gaya hidup pop, saya bergagas komunitas baru: Fine Q!
Saya ingin berbagi pengaruh mengenai bagaimana menjadi homoseksual remaja yang baik. -Ya, saya tahu penetapan baik-buruk itu kurang humanis- Masalahnya, saya sering tidak enak hati melihat teman-teman discreet gay yang tidak lekas keluar dari fase depresifnya; yang kemudian heboh sendiri; Dihina dengan ganas -dan kadang menyukainya-; dan, yaaa... hal-hal sejenis.

[Jinx-Me-Not: Kesalahan saya adalah seringkali tidak berjuang keras melahirkan konsep ini. Mereka sering gugur begitu saja. Apa ini berarti saya adalah si-tidur-yang-lambat-bangun? Lagi-lagi, saya mempertanyakan privasi vakum yang saya anggap sungguh. Jinx-me-not.]
__________________

... Śūnyatā, Śūnyatā.

(Honey, do you remember that a movie is one survival tool?

-Yes. And i haven't watched any, lately. Am i now in a thin line between Surviving and Commiting Suicide? )

Saya capek.

Bangka, Saya pulang!

Kangenkah kamu, yang saya tinggal di pembukaan bulan? Saya merasakan banyak alam selama bepergian; Juga mengalami banyak rasa. Sekali lagi saya tanya, kangenkah kamu?

Pagi ini saya bangun jam 5: Gelap. Bau embun. Dingin. Rasanya saat itu saya masih ingin menikmati buaian bantal. Tapi, air ternyata lebih pandai membujuk saya daripada bantal. Saya mandi. Dingin. Juga gelap (sepertinya abang saya mematikan lampu. Sengaja, mungkin. Tapi bisa saja tidak.). Selesai, dan saya disambut obrolan penuh keluh: tentang rumah yang baru dikontrak ini; tentang dinginnya pagi; tentang lambatnya gadis yang bantu-bantu di rumah itu bangun; dan tentang hilangnya koneksi dan jejaring bisnis setelah om saya pensiun dari PLN (;Ah, ya. Juga tentang sepupu saya yang bebal.)

Sebelum berangkat, kami berkumpul untuk berdoa. Abang dan Mama saya menangis. Maafnya, saya tidak. Ompung berbicara dalam bahasa batak. Sebiji sawi yang saya mengerti. Mengharukan, cukup. Sayangnya saya tidak menitikkan air mata untuk hal secerah itu. Saya lebih sering tersenyum.

Mama-Abang-dan-Ompung pergi bersama. Langsung ke Tangerang. Ke tempat Inangboru.
Saya-Bapak-dan-Bapaktua (Om. Abang Bapak) naik mobil yang sama. Bapaktua ada urusan bisnis; Bapak akan mengikuti rapat; dan Saya akan diculik.

Penculikan pertama lumayan absurd. Saya diculik 2 kata benda sekaligus; namun beda ujud. Yang satu nyata, (ke)macet(an); Satu lagi ujud konsep, (ke)ragu(an).
Jalanan macet. Iklan-iklan dengan nomor telepon jadi pemandangan (, sebab, mungkinkah satu kali pun tidak ada si kesepian yang menelepon untuk mencari suara di seberang sana?). Kami melewati sekolah-sekolah besar (dan saya mengkhayal. Apa jadinya jika saya mencicipi hidup selain yang ini. Selain menjadi pertapa pulau sombong ini.). Bapaktua bertanya pada orang yang lewat, dan dijawab (, karena itu ini menarik. Mungkin saja saya bisa berkenalan dengan cowok vitamin mata di jalan, juga. Siapa yang tahu? Saya tidak tahu.)

Kami turun di Blok M. Setelah sebelumnya saya jadi si kampung-yang-tersesat-di-kota. Naik taksi, dan ke Sarinah. Tahukah kamu saya gemetaran? Mengertikah kamu rasanya mengetahui penculikan atas dirimu akan segera terjadi? (Saat ini, macet dan ragu tidak lagi membuntuti saya. Digantikan herpes, nerpes, dan perez (, apapun artinya.).
Karena merasa Kak Porcel akan langsung mengajak pergi, saya hanya memesan air botolan di Mc D.
Saya duduk dekat jendela (Beberapa meja di depan sana ada si ganteng berbaju hitam. Di dekat saya, meja yang berhadap diagonal ke meja saya, ada bapak-bapak batak yang jauh dari keluarga. Menelepon anaknya, menanyakan mama dari keluarga itu. Ah, ya, di depan pintu Mc D, ada teman lama yang bersua kembali. Manis sekali pembicaraan mereka. Maaf saya menguping. Jika kamu minta alasan, [B]kuping saya lebar[/B].)

Saya minum. Baca Saman. Dan Kak Porcel tiba-tiba datang. Jreng. "Johan, ya?" -perlukah saya jawab?-
Maaf saya kurang heboh. Kecerdasan interpersonal saya belum stabil. 
"Di depan ada Pizza; di samping ada Kafe. Mau sarapan di mana?"
-Jawaban apa, kakakku? Sebagai orang yang sedang diculik, kelu, lah, lidah saya ini.

Pergilah kami ke kafe sebelah.
(Bapak medan beranjak, mengembalikan koran. Saat itu ia belum makan. Koran ternyata lebih mengenyangkan. Menarik. Irit. Saya akan catat itu; Si ganteng belum pergi. Senyumnya tidak terlalu manis. -maaf, saya lapar makanan. Terimakasih sudah mengganjal mata saya agar tidak lapar, ganteng. Saya hargai itu.-)

Kami ke Hot Planet. 
Kakak pesan [I]Chicken Wings[/I] -dengan nasi- dan [I]Vienna[/I] something. Kopi, dengan caramel, susu, dan es krim.
Saya pesan [I]Texas Omelette[/I] -dengan Kentang- dan [I]Iced Chocolate[/I]. Susu, es krim, coklat. Dengan gula yang dipisah (agar yang cinta pahit tak perlu menderita mencicip manis. Juga sebaliknya. Biarlah masing-masing menikmati yang disukainya. Sebab yang dipesan bukanlah pelajaran hidup. Kami hanya pesan sarapan untuk 2 jam lewatnya dari pukul 8)
Kak Porcel traktir! Padahal bapak udah kasih modal buat jajan ;D. Makasih, kakakku! 

-Ah, ya. Di tengah sesi makan. Bang Tyo menelepon untuk mengucapkan "Salah persepsi". Sungguh misterius ia bermain terka-terki.-

Perjalanan dilanjut di mobil pink si abang. Ada CD di kursi depan. Saya tanya, "CDnya untuk didudukin, ya, bang?" -perlukah jawaban?-
Kami tancap itc Cempaka Mas! Go, go, go!
Saya tidak heboh. Kak Porcel tetap noni. Dan si abang belum ketahuan belang.
Kami karaoke di mobil. Ya. Karaoke. Abang dan Kakak nyanyi, saya bergumam diam-diam. Karena saat itu saya tidak heboh.

ITC Cempaka Mas. Parkir. Toko Langganan. FCUK. Clothing. The Punisher. Mbak. Doraemon. Bulat. Ukuran celana 36 sempit.
-Tersenyumlah yang mengerti, agar yang tidak merasakan berkerut-kerut saja.-
(Eh, iya. Jadi juga si abang beliin baju. Dianggap utang ;D Padahal saya tidak ingat lagi.)

Ke lantai 5. Abang pesan KFC. Abang bronchitis-bronchus-bronchisaurus. Saya dapat pepsi blue. Si kakak sundae waffle blueberry (apalah namanya. Lupa.). Saya foto diam-diam. Kami jadi keluarga muda yang anaknya kelewat raksasa.

Duduk. Kami menonton si abang makan. Saya disuapi es krim vanila (berperisa jagung) dengan saus blueberry oleh MAMA. PAPA mengajak jepret foto keluarga. Kami percaya diri. Saya menganjurkan menutup mata jika malu. MAMA mengajukan untuk melambaikan tangan pada yang menatap kami dengan pandangan iri. IRI. - cowok-cowok cakep di seberang sana melihat ke sini. Saya harap mereka iri dan bukan menghina. Sebab, terkutuklah mereka yang menghina kami, keluarga-muda-bahagia-yang-anaknya-kelewat-raksasa.

Turun, dan bertemu Eyang! 
Lagi-lagi salam saya kurang heboh. Seharusnya saya bicara sesuai umur, seperti anjuran TV. Sayangnya saya masih herpes-nerpes-perez. Apapun artinya itu.
Kami ke parkiran, naik mobil eyang ke mobil abang (karena saya tidak bawa masuk kantong plastik berisi rotiboy 5 biji ke dalam. Takut mas-dan-mbak yang bawa kantong plastik berisi teh manis dingin 8 kemasan merasa tersaingi. Jelaslah, saya yang lebih ganteng. Juga komersil karena suara saya manja -kata mama dan papa-.

Eyang, Mama, Papa. Seharusnya kami buat foto keluarga besar. Sebab, mama bilang ia merasa diantara para raksasa saat berjalan bersama-sama.

Kami tancap tangerang. Melambai pada papa. Klakson papa. (Tiba-tiba ingat usaha saya merunut secara kronologis hampir jatuhnya eyang di parkiran tadi. Yang merasa, tertawa.)
Eyang suka audiophile! Saya liat-liat koleksi audiophile eyang. Aduh, aduh, bisa-bisa saya naek mobil terus kalo lagunya begitu. %heh
Kami menggosipi papa yang tidak selera pada genre puitis ini. Mama tertawa-tawa. Dengan jahatnya.

Saya ingin pipis! Karena 3 kata pertama terlalu purba, saya ganti dengan "dekat sini ada restroom, ndak, eyang?". Nah, terdengar lebih manis, kan?
Kami berhenti sejenak di KM 13. Semoga saya tidak lama di toilet. Tahu sendiri, di toilet, waktu tidak terasa berjalan. Kecuali kamu sedang menunggu.
Saat keluar, agak susah! Eyang sampai mundur. Untung kami lolos. Untung. 

Perjalanan pun tambah tancap ke tangerang. Obrolan: Kerja, PT. Timah, Bangka, dan Martabak.
Sampailah kami di Palem Semi berkat panduan 3 kata menggelitik: Pijat Ibu Broto.
Sampai saat itu, obrolan telah melebar ke FSRD, dan menggosipi Kak Marine. Semoga tidak baca. Jikapun baca, berpura-puralah tidak.

Kemudian kami sampai! Eyang dan Mama akan turun. Tapi, mama takut saya lama sampai bandara. Mama mengerti bahwa kamu, Bangka, telah begitu besar merindu. Kamu juga harus merelakan saya sesekali mengunjungi mama, ya, Bangka.

Saya diam-diam mengambil foto eyang. Biarlah foto keluarga besar agak pisah-pisah. Sebab, bukankah kelak ada waktu untuk bersatu?
Penculikan saya sukses.
Pengalaman hidup saya bertambah warna. Ini kali pertama saya diculik. Dengan baik, pula :)
Ingatkan saya untuk lain kali meracuni keluarga-besar-bahagia dengan otak-otak Bangka, ya!

Terlambat sekolah, euy :D

(Seharusnya ada foto untuk yang satu ini. Saya sudah memberanikan diri menjepret barisan terlambat tadi pagi. Sayangnya si Ade Butun masih pinjam pembacakartu saya.

Pagi tadi saya terlambat! Aduh. Padahal seharusnya saya datang lebih pagi dari yang biasa. Setengah 6, ditunggu Robi, koordinator Film Dokumenter yang kami buat. Juga, setengah 7, jam wajib bagi kelas yang menjadi petugas upacara.
Tapi, kenyataan berkata lain. Saya bangun jam setengah 7. Dan buru-buru mandi sampai berangkat jam 7 kurang. Ampun.

Maaf saya yang benar-benar untuk yang sudah datang pagi. Sungguh saya tidak bisa melepaskan mata dari film kemaren malam. The Forgotten. Konspirasi. Semesta berkomplot. Gagasan tambahan untuk ide cerpen anak-anak delusional. 
Yah, tentunya dunia masih menyenangkan. Saya bermain lagi dengan M hari ini.

Ide hari ini.

Melihat kembali kondisi manufaktur di Indonesia, saya sempat sesekali mengira-ngira usaha yang sesuai. Garmen, bagaimana? Oke, agar tidak bertendensi pada monopoli, bagaimana jika perusahaan besar hanya memproduksi bahan besarnya? (Aduh, apa istilahnya, ya?) Katun, wol, dan sebagainya. Baru, kemudian, industri kecil-kecil membuatkan motif cetaknya. Ini tentunya ada yang membuat administrasi. Saya ingin para seniman di Indonesia punya kanvas yang unik dan mobil: Kaus! 
Sehingga, kira-kira akan begini:
*Hajat besar: Bahan baku, teknologi, dan mesin untuk perusahaan besar yang membuat kaos. Mempertimbangkan juga biaya produksi di Indonesia yang masih murah (sampai dilirik vendor luar negeri :D). 
*Hajat kecil: Usaha-usaha kecil-menengah yang akan menyempurnakan garmennya. Draperi, gaya serut, jahit tambahan, tambal, cetak gambar, efek washed, terserah! Maka, seniman berkreasilah.  Orang-orang grafik akan lebih dihargai lagi. Terlebih jika satu motif tidak boleh dicetak banyak. Ini harus diatur benar-benar oleh bagian administratif. Maka, makin banyaklah kanvas yang boleh diisi!

Suara Anak

Ah, ya, setelah nonton Pertaruhan (At Stake) di Metro TV kemaren (Yang saya lewatkan saat ke Blitz! Beberapa waktu lalu ), saya kepikiran untuk ikut menyuarakan kaum saya. Kaum anak. Oke, anggap saya ikut-ikutan kaum perempuan yang sedang menunjukkan sisi independennya; yang sedang menuliskan jeritan hariannya. 
Saya juga rasanya ingin ikut bergabung dalam semangat ini. Saya tahu, tidak perlu pengalaman langsung untuk menyuarakan realita yang tertutup dari mata publik. Namun, rasanya akan ada rasa tersendiri dan alam yang lebih dalam jika kita bersentuhan langsung dengan kenyataan. Alih-alih mengikuti stereotipal mentah-mentah.
Kemungkinan melalui sastra; atau film; atau visual; mungkin seni. Diam, maupun gerak.
Doakan saja, ya!
Saya sedang membangun fondasi untuk hal ini. Teman-teman yang baik, pun, sudah mulai dikumpulkan.
Perkembangannya, akan saya bagikan di sini.