Awal Karierku Sebagai Seorang Teman Ibadah Pascabayar

Beginilah bagaimana aku memulai karirku sebagai seorang teman ibadah pascabayar: Di suatu kamar tidur yang dingin oleh pendingin udara, di mana jendela-jendelanya sudah diselimuti gordyn-gordyn menutupi jendela yang menampilkan pemandangan gelap dan meneruskan bunyi dari kodok, jangkrik, ayam, burung-burung dan nyamuk-nyamuk, aku tiba-tiba ingin meludahkan kejujuran “Ma, aku tidak mau lagi ke gereja”. Sebenarnya aku terpikir untuk menggunakan kalimat-kalimat lain yang lebih jujur dan naluriah seperti: ma, aku membenci keimanan atau ma, aku gnostis. Tapi kejujuran yang diawali dengan kata benci adalah kejujuran yang tidak akan sampai ke telinga kawan bicara. Biasanya telinga seorang kawan bicara akan menebal, berduri, dan bertanduk saat kita membicarakan kebencian yang tidak kompak. Dan akupun tidak yakin bahwa termasuk sopan untuk memperkenalkan mama pada pandangan baruku mengenai pertemanan intim manusia dengan teman imajiner yang (kadang) bernama tuhan di hari yang sama dengan aku memperkenalkan kebencianku pada keimanan.


Diam lebih sering muncul daripada suara, malam itu, di kamar itu, di antara mama dan aku.


Namun, kalimat berikutlah yang menjadi penjelasan paling lugas perihal bagaimana aku mengawali karierku sebagai teman ibadah pascabayar: “Melewatkan kebaktian setiap hari minggu adalah tandatangan persetujuanmu untuk tidak kuanggap sebagai anak yang kupelihara dengan uang setiap bulan”


Entah karena aku sedang beruntung atau mama sedang dermawan, malam itu aku berhasil menawar kontrak kami menjadi duaminggu sekali, dan bukannya setiap minggu. Semenjak itulah aku rajin mengunjungi rumah ibu malam-malam hari sabtu, untuk bersama-sama mengikuti kebaktian di gereja keesokan paginya. Biasanya, saat sore telah sampai di hari minggu, mama membekaliku dengan uang ekstra untuk ongkos pulang (ke kontrakanku dekat kampus). Kadang-kadang, saat aku sedang ingin melucu, aku menolaknya “Uang yang kau berikan setiap bulan sudah cukup untuk menemanimu hari minggu kedua dan keempat setiap bulannya. Aku tidak tertarik untuk lebih sering lagi menyiksa pantatku untuk duduk di gereja bersamamu di hari-hari lain.”
Ia hanya sekali tertawa mendengar itu. Barangkali, sekali waktu, ia pernah waras.


Klienku tidak hanya mama. 


Di minggu-minggu di luar minggu yang sudah dikontrak oleh mama, aku berkunjung ke rumah opung. Aku menemani opung ke gereja, dan sepulangnya kami dari sana, ia akan menghadiahkanku makan siang di restoran. Setelah itu, ia pun akan membiarkanku tidur siang dan berendam air hangat di rumahnya, lalu membekali aku dengan ongkos pulang.


Selain teman ibadah gereja, aku pun pernah dikontrak beberapa kali untuk menemani belanja. Pekerjaan sebagai teman belanja tidak membuatku merasa harus mengganti nama pekerjaanku di kartu nama. Sebab, bukankah kegiatan belanja adalah ibadah juga?

Bagian Pembuka untuk "Perek Off-Duty"


Berbalutkan ketelanjangan, dua tubuh menarikan tarian yang erat, penuh keintiman dan keringat. Barangkali merayakan berahi, atau berusaha menghadirkannya. Kedua tubuh itu telah usang dan kering. Hanya ada sedikit sekali sisa kebeliaan di sekitar selongsong mata mereka. Mungkin mimpi indah jarang menghampiri keduanya. Atau kantuk memutuskan untuk tidak berkawan dengan mereka. Kedua tubuh itu menari sampai sekitar pukul 11 di hari terang, dekat jam istirahat para buruh. Salah satu tubuh akan bangun, menelusuri lantai, mengikuti bau kulkas, mengambil apapun yang baunya tidak terlalu maut. Sekali waktu, brokoli kecil yang gemuk dan afro. Kali ini, kentang mentah yang sudah semalaman direndam air garam. Ia menjentikkan jari telunjuknya kepada kentang-kentang yang berendam dalam rantang, dengan centil bertanya “Manakah di antara kalian yang ingin berkunjung ke dalam perutku selama beberapa jam?”. Ia biasanya memilih tiga kentang yang jejak kupasannya paling serampangan “sebab kerapihan milik buruh, bukan tamu-tamu tubuh”. Ketiga kentang tadi kemudian diperkenalkannya dengan pisau, sendok goreng, dan wajan. “Bertemanlah kalian dengan akrab sebelum minyak goreng datang”. Di akhir perkenalan yang intim dan bersahabat itu, ia menumpahkan minyak atas mereka, menyatukan mereka dalam kehangatan. Ia membaringkan potongan-potongan kentang yang telah bersatu di atas piring yang pipih dan berwarna putih, menaburkan garam atasnya, sembari menaruh mangkuk mungil berisi saus sambal di atas piring (yang pipih dan putih itu), di pinggir persatuan kentang. Ia akan membawa keramaian piring itu untuk menemaninya berdiri bersandar dekat jendela di ruang tengah. Ia akan membuka jendela dengan gembira sambil menggumamkan sebait-dua lelaguan dari Lisa Ono. Ia menyanyi dengan bahasa bunyi, karena lirik lagu bukanlah sesuatu yang ia biarkan berlama-lama di kepalanya (walaupun bunyi dan nada diperbolehkannya bermanja berlama-lama). Dekat jendela biasanya ia menemukan gelas berisi air minum, sisa semalam. Ia memegang kuping gelas itu, menumpahkan isinya keluar lewat jendela dengan irama yang terbiasa. “Pajakku telah kucicil”. Ia selalu percaya air yang tumpah akan jatuh ke tanah, memberi minum makhluk-makhluk tanah yang minum air. Ia selalu berdiri santai memperhatikan pemandangan di luar jendela, mempersembahkan senyum yang kecil dan sederhana kepada pemandangan di luar sana. Kali ini ada yang berbeda. Ia berkata pada tubuhnya dengan bahasa yang audibel “Hari ini kau adalah seorang perek yang sedang mengambil cuti”. 

Pembicaraan di Meja Makan

Ada ketegangan yang tidak pernah bisa kita bicarakan. Ada kekakuan yang tidak pernah melunak. Ada kebekuan yang tidak pernah mencair, dan kita sadar betul.

 Kita duduk di ruang makan, di meja persegi: Aku duduk di kursi kepala keluarga, sebab untuk urusan kursi pun kita hierarkis. Kau di sebelah kiriku, menyisakan satu kursi kosong di sebelah kanan: sebab meja ini untuk bertiga. Tidak ada kursi di seberang kursi kepala keluarga, sebab sumber kewenangan kepala keluarga adalah ketiadaan ruang untuk persaingan. Ada ketegangan yang tidak pernah bisa kita bicarakan.

Ada kekakuan yang tidak pernah melunak. Ada kebekuan yang tidak pernah mencair. Ada kediaman yang tidak pernah bisa kita paksa bicara. Sepuluh menit sejak kita duduk, dan kita masih dengan keheningan yang sama. Kita tidak mematung, sebab patung tidak mengedipkan matanya, dan patung tidak secara aktif menghirup oksigen dan menghembus uap air.

 Ada ketegangan yang tidak pernah bisa kita bicarakan. Ada kekakuan yang tidak pernah melunak. Ada kebekuan yang tidak pernah mencair. Ada kediaman yang tidak pernah bisa kita paksa bicara. Tigapuluh menit sejak kita duduk, dan kita masih dengan keheningan yang belum bubar. Hidungmu mulai menerima rangsangan dari partikel darah yang beterbangan: anyir, seperti karat. Amis, seperti ikan yang terlalu lama menggelepar di darat. Gosong, seperti satai yang terlalu lama dibakar.

Ada ketegangan yang tidak pernah bisa kita bicarakan. Ada kekakuan yang tidak pernah melunak. Ada kebekuan yang tidak pernah mencair. Ada kediaman yang tidak pernah bisa kita paksa bicara.

Limapuluh menit sejak kita duduk, dan keheningan belum pergi. Kita tidak saling melihat. Aku tidak melihatmu, dan tubuhku tidak merasa dilihat-lihat oleh matamu. Tapi aku merasakan kehadiranmu di kepalaku. Barangkali ada sidang besar di kepalamu, membicarakanku. Di kepalaku tidak ada sidang besar. Hanya ada dua kembar yang duduk di sebuah sofa merah, saling memunggungi dan berbicara dengan bahasa kesunyian.

 Ada ketegangan yang tidak pernah bisa kita bicarakan. Ada kekakuan yang tidak pernah melunak. Ada kebekuan yang tidak pernah mencair. Ada kediaman yang tidak pernah bisa kita paksa bicara. Tujuhpuluh menit sejak kita duduk, dan suara belum hadir. Aku mengingat-ingat perkenalan kita. Aku mengingat-ingat berapa kali hujan turun di bulan Juni. Aku mengingat-ingat bau gerimis dan rasa tanah. Gerimis adalah pacarku, dan tanah adalah pacarmu. Ada ketegangan yang tidak pernah bisa kita bicarakan. Ada kekakuan yang tidak pernah melunak. Ada kebekuan yang tidak pernah mencair. Ada kediaman yang tidak pernah bisa kita paksa bicara.

 Sembilanpuluh menit sejak kita duduk, dan gerak belum lengkap. Aku mulai bertanya-tanya, dari mulut siapa ketegangan berikutnya harus mulai. Cepat atau lambat, kita harus membicarakan gerimis dan tanah. Mereka di sini, dan mereka bau anyir. Mereka di sini, dan mereka bau amis. Mereka di sini, dan mereka bau gosong. Pacarku telah ku kembalikan pada bau. Pacarmu, telah kau kembalikan pada gosong. Aku membunuh pacarku dengan air, kau membunuh pacarmu dengan api. Kita melakukannya bersama di ruang makan. Sebab segalanya sudah disiapkan.

 Ada ketegangan yang tidak terelakkan. Kekakuan hadir dalam gerak. Ada kebekuan yang menyakitkan. Tapi kediaman mulai mengalah, permisi keluar dan digantikan bahasa suara.

 Aku menopang daguku dengan tangan kanan, memainkan telingaku sebentar, lalu mengunjungi rambut dan menyapanya dengan gemelitik pelan. Aku mengundang suara untuk datang. “Jadi, apakah kau masih ingin tidur dengan anjing?” . Kau tersenyum dan akupun juga. “Tentu tidak. Dan aku yakin kaupun berniat untuk selamanya tidak tidur dengan babi.” Lalu kita tertawa dengan suara yang tidak terlalu bising.