Wiwiek, Tengah Malam

Pada suatu malam, Wiwiek tidak bisa tidur. Ia membayangkan siang yang akan datang. Ia membayangkan panggung yang memanggil-manggil. Wiwiek tidak yakin apakah kegelisahannya beribu pada ketakutannya pada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di atas panggung (entah penonton yg terlalu ramai atau kualitas musik mereka tiba-tiba tak seseru biasanya), atau beribu pada perasaan gembira menantikan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di atas panggung (barangkali penonton yang menyenangkan, siapa yang tahu?).

Wiwiek adalah biduan untuk Irama Aduhai, Orkes Melayu kecil-mungil yang keliling dari panggung ke panggung di sekitar Deli Serdang. Di tahunnya, orang-orang dari Batavia mengejek Orkes Melayu dengan sebutan dangdut, mengimbuhi musik yg mereka mainkan dengan kata-kata tidak enak yang seringkali menyakitkan hati walaupun kadang lucu karena tidak seperti ejekan: musik goyang pantat (mereka biasanya menyebut kata dangdut sambil menggoyangkan pantat mereka: ke kiri, sambil mengatakan dang. ke kanan, sambil mengatakan dut). Sungguh mereka itu terkadang lebih melucu daripada menghina.

Subuh datang tidak bersama kantuk. Wiwiek masih gelisah di kamarnya, melihat ke langit-langit, menghitungi plafon. Barangkali ia membayangkan wajah Komar, pemain gendang untuk Irama Aduhai. Komar sangat sopan kepada Wiwiek. Mengucapkan selamat pagi, selamat siang, selamat sore, selamat malam dan menanyakan "Apakah Wiwiek sudah makan?". Wiwiek tersenyum pada plafon. Ia tidak pernah tahu apakah Komar pernah ikut pelatihan militer atau hanya sedang belajar mengucapkan salam bahasa Indonesia. Sebab Komar tidak terlalu pandai berbahasa Indonesia walaupun ia sangat fasih berbahasa ritme dan ketukan.

Kantuk akhirnya menghampiri Wiwiek, sebelum masjid di dekat rumahnya membunyikan adzan lewat udara. Wiwiek akhirnya tidur, ditemani kekhawatiran dan rasa
Gembira.

http://9lightsproduction.multiply.com/journal/item/26/Lomba_FF_Ninelights

0 komentar: