Saya selalu menikmati film-film manis. Tentang cinta. Atau persahabatan. Bisa juga tentang Persaudaraan.
Tapi, tetap saja, semua berujung pada satu: penerimaan.
Cinta memang tidak melulu milik ksatria berkuda putih. Atau milik wanita metropolitan chic-wicked-smartass. Tidak juga tunggal milik para pemimpi.
Siapa bilang cinta yang paling indah hanya antara dua manusia? Diskriminatif sekali.
Saya senang mengamati bagaimana seseorang bergelut; bersenggama; bercinta; bersentuhan; bersisian (atau kejadian apa, lah) dengan cintanya. Dengan manusia lain; dengan kegemarannya; dengan hal abstrak; atau dengan hal nyata. Uang, misalnya?
Aduh, aduh, jangan sampai stereotip "pencinta uang" yang didongengkan di sinetron-sinetron menutup resepsi rasa tentang cinta.
Sumpah, bahkan seorang pembunuh kejam pun bisa manis. Bisa lucu (dengan beragam varian, tentunya: lucu parodik, lucu sinistik, atau, lucu sarkastik )
Saya tahu, sensasi "geli parodik" ini hanya bisa dinikmati saat satu duduk sebagai pengamat; sebagai penonton tak-kasat-mata; sebagai penikmat dalam hening.
Saat ikut bermain; ikut membunuh atau dibunuh; ikut mencuri atau dicuri; ikut marah atau dimarahi, agak sulit untuk tertawa. Ini dia bukti bahwa jarak, ruang, dan spasi memang sebuah substansi ampuh dalam mengijinkan tawa hadir.
Dan, oh, ya. Hari ini saya masih utopis. Masih pengamat
Guru Matematika saya, Pak Joni Manullang, meruapkan celetuk kecil yang akhirnya ikut-ikut jadi bahan pikiran saya (walaupun tidak menjadi beban yang memberatkan): "Kamu terlalu banyak mengkhayal. Cita-citamu terlalu tinggi"
Ya. Satu lagi peserta konferensi tanpa meja yang membahas hidup si codeblueberry yang hina dina. Satu lagi saksi betapa utopisnya saya. Kapan kita membahas ini? Setelah saya kembali menghubungkan tulisan yang mulai ngalur-ngidul ini ke tulisan di awal, ya. Tentang penerimaan.
Kemarin, saya akhirnya menyelesaikan menonton film Caramel dan hari ini Mr. Deeds.
Dan, keduanya berhasil menimbulkan getar yang sama pada saya. Sesekali tawa dan senyum geli, dan lainkali perasaan melankolis. Tentang penerimaan juga. Walaupun keduanya berbeda suasana, tapi, lagi-lagi saya melihat cinta. Melihat persaudaraan. Melihat persahabatan. Melihat penerimaan
-Oh, ya. Tak perlu diruapkan, pun, saya tahu tulisan ini tidak spesifik. Tidak signifikan, atau apalah. Anggap saja ini ruapan personal; serapah pribadi; atau apalah. Hanya bahasanya saja yang tidak menyertakan misuh. Saya lebih suka sindiran eufinis, koq.
(Also published on forum)
Ruapan personal (lagi?)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
kita menyukai hal yang sama,,,
yaitu kesendirian,,,
oia,
salam kenal.,.,.
kunjungn pertama nieh.,.,.
Jangan biarkan orang menilai kamu bercita-cita 'terlalu tinggi'. Biarkan saja mereka bilang apa ;-) Dalam sang pemimpi Andrea Hirata kan dibilang, tanpa mimpi, kita akan mati!
Seperti quote fave saya, and I found it so true!
Shoot the moon, and even if you miss, you will land among the star. That is worthhhhh trying, ringt?! ;-)
@Aziz: Hehehe, yakin, saya penyuka kesendirian? Sebenarnya, saya lebih suka hubungan intrapersonal dan interpersonal saya seimbang. Sesekali, saya butuh ruang untuk hening sejenak; lain kali, saya senang mendengarkan suara-suara di sekitar saya. Dari manapun suara itu berasal :)
@Rina: Iyaaaa~
Tenkyu Kak Rina!
Posting Komentar