Menceritakan kembali kepahitan tidak pernah semenyenangkan yang saya bayangkan. Peluh dingin mulai rintik mengembun; mata berkabut dan pekat gaduh. Ijinkan saya mulai agar kita punya kisah untuk dibaca: Kala itu surya masih kemuning; namun saya tidak dapat melihat dengan jelas. Udara tidak terik; namun raga saya tidak lekas diam berpeluk rasa nyaman.
Kala itu hari Selasa, sejauh saya ingat. Tempo saya jadi luar biasa perasa. Hari bayang saya diikat nelangsa tak mau lepas juga. Saya tiba-tiba ingin hujan turun saja. Basahi petak saya berpijak; ijinkan tanah longsor; dan bawa saya terkubur di dalam. Ijinkan saya tenggelam dalam diam hitam. Atau, angin saja dibuat ribut. Jangan bawa saya terbang, itu terlalu indah. Yang saya butuhkan adalah kekacauan. Terbangkan meja atau papan tulis di depan saya dan biarkan mereka menimpa saya agar lekat pipih rapi. Atau sengat matahari, lelehkan kaca jendela dan biarkan saya terperangkap di sana.
Jangan biarkan hari ini biasa saja.
Pahit biasanya diawali manis atau dibayangi legit; agar saya bisa membandingkannya.
Pagi kala itu, saya menguapkan wewangian kesukaan saya: harum mangga dan markisa; vanilla dan musk; teh bunga dan methanol.
Pagi saat itu, saya mengenakan variasi seragam kesukaan saya: Seragam putih abu-abu dengan baju hangat warna merah darah; kaus kaki sepanjang betis dengan bordir bunga sedikit; kalung wool kecil; gelang kayu merah-hitam-hijau; dan bando putih. Membayangkannya sekarang berarti mengakui bahwa sesekali saya pergi ke sekolah seperti orang jual diri. Seperti prostitusi belajar di institusi.
Mengenangnya kembali berarti membiarkan pelupuk mata saya lembab. Saya jadi cengeng saat mengenang masa lalu; rapuh dan runtuh segala ketegaran yang saya bangun paruh demi paruh.
Jika saya menghentikan kenangan ini, maukah kamu terus mengamati tarian bibir saya? Atau jentikan hentak jemari ini mulai membosankanmu; membuat matamu perih dan tengkukmu pegal?
Kala ini, sore hari: saya dikulum rintik hujan dan digelitik angin dingin. Bergegas saya mencari tempat berteduh; lalu sampai. Tiba saya dan meletakkan payung segera; bergegas-gegasan mencari atap teduh. Payung hitam; jaket hitam; mata hitam: kini saya sang janda hitam.
Atap itu meneduhi warung kopi. Jangan bayangkan Starbuck. Ini warung kopi Bu Dabar.
“Sore” yang menunggui warung tersenyum. Menu disodorkan.
Saya balas tersenyum, “Ya”. Menunduk sedikit, “Terimakasih telah menyediakan atap. Kopi hitam panas, jangan pakai gula, dan minta satu mangkuk es. Terimakasih.” Saya tersenyum lagi, mengembalikan menu, dan melihat ke arah matanya, lalu tersenyum lagi.
“...” Ia seakan ingin bertanya, namun tunda. Mungkin henti. Tanda tanya terlanjur ia telan, tidak semudah itu untuk dikeluarkan.
Saya membuat diri terhibur dengan melihat ke luar. Beruntung warung ini punya jendela yang besar; pemandangan kota kala hujan seringkali membuat saya tersenyum. Dingin; kelam; berangin: ia ingin sesekali meminta pada angin untuk mengajarinya melayang. Mungkin dengan cara itu ia tidak perlu tergoda menelan hashish dan malu pada diri sendiri karena membatalkan janjinya untuk selibat dan tetap suci. Sayangnya, tidak keduanya. Angin tak bergeming; dan dirinya terlalu penakut untuk menelan hashish.
“Kopi hitam?”
Saya melihat matanya, lalu menatap baki.
“...” Ia diam lagi.
Saya menatap matanya, kemudian tersenyum.
Saya mengerti jika mereka –yang mengantarkan pesanan- selalu ingin tahu orang macam apa yang memesan pesanan seperti itu. Apa kamu juga?
Kopi hitam tanpa gula; masih mengepul.
Jejari saya mendekap gelas dan mengijinkannya berbagi hangat. Saya dekatkan ia ke bibir saya, lalu membaui kepulnya. Ini kopi medan: wangi cengkeh dan seakan pernah dicelupi daun jeruk, ia asam segar yang tidak manis. Ramuan panas, kelam, asam, perih. Puas membauinya, saya mulai mencelup bongkah-bongkah kecil es batu – yang bahkan berbentuk mirip batu. Pecah pipih-pipih. Saya membiarkan 3 bongkah mengapung pada kolam hitam. Mengamatinya meleleh; lalu ingin ikut.
Kamu masih ingin tahu, orang macam apa yang memesan kopi hitam pahit dengan batu es? Sini, saya jawab: orang yang patah hati menahun karena satu-satunya yang bisa ia peluk di dunia ini hamil saat sekolah. Pacarnya yang perempuan –yang laki diputusnya malam-malam saat berani memonyongkan bibir-. Hari selasa, kala itu, ia ingat. Ia tidak melihat sosok sang perempuan muncul pada gerbang. Hanya ibu yang bersangkutan, dan surat. Surat bohong –untuk apa mereka tulis surat jika sirat sudah begitu jelas?- berisi keterangan bahwa yang bersangkutan akan cuti sekolah untuk satu tahun, dan akan mengejar ketinggalan pelajaran dengan ikut program menyekolahi rumah atau sekolah di rumah atau apalah itu.
Teman sekelasnya tahu jelas. Yang bersangkutan sudah beberapa bulan hamil. Dengan siapa pun semua tahu. Semua kecuali ia. Cerita akan hambar tanpa goda sesumbar: semua jawaban jadi bias dan pertanyaan muncul babar blas; “Bukannya kemaren dia mau gugurin itu kandungan?” “Eh, masa sih hamil? Emang seheboh itu, ya?” “Cowoknya beneran yang itu? Bukannya dia gaul sama yang lain juga?”
Tak perlu menunggu satu bulan; dua minggu berlalu, dan berita hangat untuk sabtu pagi sudah berganti berita kepala.
Saya tidak bisa melupakannya. Melupakan ia –bukan sensasi yang ia tinggalkan sebagai kenang-kenangan sekolah-.
Ia satu-satunya yang ada di sana saat saya pikir semua orang di dunia adalah pengusaha oportunistik. Ia menggantikan organisasi keagamaan yang saya kira fundamental. Radikal ternyata tak berarti fundamental. Mereka adalah para modernis tanggung; dipikirnya dengan agama orang boleh diatur-atur. Seingat saya agama itu hubungan saya dengan yang di atas. Bukan dengan para penjamah dari organisasi yang mengaku ditunjuk Tuhan. Saya punya nilai-nilai yang saya hargai; dan tahu cara cecara yang dalam mengamalkannya. Secara relevan. Tidak didaktik.
Hiperdermis sesekali dikuliti; yang selesai waktunya pun akhirnya berganti: Saya ingin mengembalikan semuanya pada relevansi.
Saya mimpi jika merancangkan apa yang seharusnya terjadi. Hak memilih pun kadang berbenturan dengan nurani lemah yang mengangguk iba melihat orang lain mengulurkan tangan minta tolong –padahal hari sebelumnya merekalah yang menjulurkan lidah tiap kali saya hadir. Atau diam-diam menunjuk dengan jari tengah tiap kali saya berdiri. Saya memang lelucon prostitutif.-
Masa lalu memang biasa diceritakan dengan tambahan sana-sini. Dikurangi juga sini-situ jika sang empunya pemalu seperti saya.
Anggap saja ini muntahan seorang yang kecewa; paduan suara orang-orang yang merasa dikhianati: muntahan yang selalu berwarna namun tak jelas asalnya apa.
Rouge Maiden
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar