Obrolan saya dengan mama malam ini membawa saya pada monolog-monolog tentang pembagian persenan: Divisi-divisi, departemenisasi, bagi-bagi.
Selain yang absolut, tidak ada yang 100%. Hidup adalah beberapa persen masa kini, sebagian persen kenangan masa lalu, sejumput tujuan masa depan. Mengetahui kapan ketiganya berpisah; dan kapan ketiga-nya bertemu, maka PR saya akan selesai, dan tidur saya akan nyenyak.
Saya akan mulai dengan label, penjahat paling jahat.
Gay, homoseksual, bodoh, cerdas, jenius; tidak akan hadir tanpa deskripsi; dan akan berbahaya tanpa definisi. Label-label ini hanya hidup dengan penjelasan tertentu, dengan pembatasan juga. Saya katakan bodoh jika mengikatnya seperti borgol pada tubuh yang terus bertumbuh: kita.
Kita –saya dan kamu, adalah makhluk yang terus berubah; bertumbuh. Label mungkin akan befungsi hari ini; tapi tidak kemarin, atau besok. Cerita berubah karena waktu pun tidak berdiam diri. Sebut saya gay jika suka pada laki. Atau banci, jika saya pantas dipanggil demikian. Tapi, saya tidak mau mengikatkan diri pada label ini. Hanya karena saya sempat dipanggil gay, tidak berarti saya harus ikut apa yang dilakukan orang lain dengan panggilan sama. Jika ada yang memilih untuk menikah dengan perempuan, dengan laki-laki, atau dengan kesendirian, mereka memilih. Dan saya pun punya hak untuk memilih. Karena masing-masing memiliki dimensi-nya: lalu, kini, dan akan. Dimensi lalu yang berbeda, akan mempengaruhi pilihan saya pada cerita kini.
Manusia sering lupa pada kemanusiaannya. Saya katakan demikian, karena beberapa orang lebih suka hidup sebagai judul; sebagai label. Ada yang hidup sebagai pembantu, lantas apa-apa dikaitkan dengan pembantu. Lagu, harus a la pembantu; Hiburan, harus a la pembantu; Baju, harus a la pembantu; sampai urusan yang sudah terlanjur dilakukan, masih diungkit pula: nama, harus gaya pembantu (.Saya pakai contoh ini hanya karena kebetulan kepikiran saja, tidak berniat profesis).
Manusia sering lupa bahwa ia manusia: ia hadir lengkap –bukan hanya tubuh saja, melainkan juga jiwa. Saya –dan kita, hadir dengan banyak organ jiwa: mimpi, masa lalu, harapan, rasa tertarik, rasa jijik, keinginan, dan banyak lagi yang sebenarnya bermuka sama –namun namanya saya bedakan, supaya banyak contoh.
Menyerahkan diri 100% pada orang lain berarti menghamba; dan perbudakan semakin banyak saja terjadi. Ada perbudakan yang terjadi karena kurang tahu, atau tidak sadar: Istri yang mengira harus patuh penuh pada suami; bawahan yang salah mengartikan bahwa kontraknya mengharuskan ia tunduk pada bawahan. Untuk ini, salahkan hierarki. Hierarki mengajarkan kita ada yang harus membawahi yang lain hanya karena faktor-faktor yang sebenarnya horizontal. Ganjil. Aneh. Perempuan dan laki-laki yang “level”-nya setara, misalnya. Pembedaan harusnya berorientasi pada kemampuan bawaan, dan kemampuan yang dipelajari. Bukan berdasar pada jenis kelamin yang dibawa-bawa. Karyawan perusahaan juga demikian. Bukankah masing-masing punya tugasnya? Sesuai kemampuan; pengorbanan; pertaruhan; dan pengalaman. Saya pikir pembagian pekerjaan sudah cukup adil jika tidak ditambah-tambah hierarki atasan-bawahan. Tidak harus jalan jongkok setiap bertemu atasan, kan? Cukup hargai kemampuan dan pengalaman. Tidak usah menghujani-nya dengan jilatan. Risih, lho, dijilat terus.
Masalah ini akan bersinggungan dengan Hak Asasi Manusia. Kodrati. Pancasila juga mengambil tengah dari Liberalisme dan Komunisme. Tidak menjadikan diri manusia bebas seenak udel; tidak juga mengikatkan diri pada kepentingan umum dan menyerahkan tubuh untuk menghamba: Melainkan, kebebasan yang bertanggung jawab. –Ah, betapa cintanya saya dengan ide lawas ini. Pancasila mungkin didandani gaya terkini agar tidak disebut lawas, dan dijauhi kaum yang khusus mengejar hal-hal baru.
Saya mulai keluar konteks, ya? Maaf. Sampai di mana, tadi?
Ah, ya.
Saya pikir, solusinya adalah untuk setiap manusia menyadari hak dan kewajibannya. Jangan hak saja, atau kewajiban saya. Karena itu berarti absolut lagi. Kan, judul-
nya Separuh Ratus. Selalu ada pembagian porsi bagi yang tidak absolut.
Sekarang sedang tren menikah dengan perjanjian pranikah. Saya pikir ini bagus, karena di negara penjunjung etiket seperti kita, batas seringkali bias. Hukum tidak kabur, karena memang tertulis. Lisan yang kabur, karena lidah tidak bertulang. Ingat saja berapa banyak harta yang ludes karena hanya disetujui dengan perjanjian lisan? Bayangkan jika berlanjut. Kita tidak akan tahu seberapa berhak negara ini menggali halaman belakang rumah kita jika diduga mengandung emas.
Partial Hundred –Separuh Ratus
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar