Kenapa satu tidak bersyukur tanpa komparasi? Kenapa satu merasa ia lebih beruntung dari mereka yang tidak makan nasi, namun yang sisa dan yang basi?
Kenapa satu tidak sujud, tepekur, atau berbaik-baik tanpa perlu dilihat banyak?
Bukankah sujud mengajarkan kerendahan hati pada yang sudah sering menitipkan egonya pada teriak?
Atau tepekur, yang mengajarkan hening daripada bising.
Berbaik-baik tak perlu, lah (dijelaskan). Bukankah satu tahu sendiri, bagaimana menolong dengan tangan kanan tanpa perlu dilihat tangan kiri? Kebaikan atau pekerjaan upah-kah itu, jika berbuat dan mendapat imbalan? Atau satu mau bilang, satu bekerja dengan kebaikan?
Kenapa, satu harus menghamba pada pedagog? Iyakah satu tidak bisa belajar sendiri?
0 komentar:
Posting Komentar