Kemarin bible class di konsistori HKBP Pangkalpinang. Sesekali saya merasa lucu, rajin ke gereja, namun tidak mengembangkan religiositas. Saya lebih banyak membuat catatan sendiri dari yang dikhotbahkan. Berdosakah saya karena pikiran saya?
Saya memandang alkitab sebagai interpretasi beberapa orang terhadap dunia. Oke, saya sudah mendengar perihal "Ini diturunkan Tuhan", "Ini karya Allah", "Tidak ada kebohongan dalam kitab; Apa adanya", dan klaim-klaim lain.
Saya percaya segala yang ada sekarang adalah hasil penciptaan; awal mula; asal muasal. Namun, luculah rasanya jika semesta ini dicipta oleh dongeng.
Begini: Saya percaya ada kebenaran dari setiap kejadian (Atau dongeng; atau kebohongan. Jika boleh disebut begitu.). Begitu jugalah saya mempercayai si kitab besar. Lagi-lagi, isinya adalah pandangan mengenai dunia. Konsep-konsep; hasil perenungan; kritik; pengetahuan; inspirasi, juga lainnya. Yang diperlukan adalah membaca dan mencernanya. Bukan sekedar menjadikannya bahan pelototan. Juga untuk menyuarakannya kembali. Tidak semua orang cakap dalam memetik esensi dari dongeng. Luculah jika dongeng itu dijejalkan terus-terusan pada kuping orang yang membutuhkan solusi. Oke, mungkin suatu hari orang itu akan mengerti simbol-simbol yang diberikan padanya.
Ya, jika menyangkut masalah "yang mungkin", saya pun mengalah. Setiap kejadian, toh, ada tujuannya.
Mungkin seseorang dibiarkan tidak tahu hari ini untuk banyak tahu kelak.
Atau diijinkan jahat agar kelak mengerti indahnya kebaikan.
Atau dibuat kesepian supaya independen.
Dan, jangan lupa, yang di atas sana sungguh cakap dalam menjalin benang sinkronisitas; lini-lini sebab akibat. Seringkali, banyak hal-hal menarik yang disimpan untuk nanti. Hidup ini menarik, koq.
-------------------------------------
Ah, ya. Malam tadi, saat latihan untuk koor hari ini, amang guru berkhotbah mengenai kebahagiaan. Maafkan saya membandingkannya dengan konsep kebahagiaan menurut Dalai Lama (,Juga, karena mengikutsertakan film Pursuit of Happyness dalam laku komparasi ini).
Entahlah, saya bingung kenapa yang disampaikan amang guru adalah memiliki apa yang kamu inginkan. Memuaskan ambisi. Sedangkan saya lebih suka mengingini apa yang sudah dimiliki. Kepuasan.
Juga, amang guru menyampaikan bahwa kebahagiaan dicapai dengan menjadi suci; tidak berdosa-bercela; jauh dari larangan Tuhan.
Lho, lho, ada apa, ini? Kenapa justru konsep balap tikus yang ditawarkan? Kenapa kebahagiaan dibuat seakan-akan jauh.
Aduh. Maafkan saya yang tidak menyatakannya langsung, amang guru!
Mungkin saya egois. Saya lebih suka mendengarkan daripada berbicara. Walaupun dua-duanya menyenangkan.
0 komentar:
Posting Komentar