Wiwiek, Tengah Malam

Pada suatu malam, Wiwiek tidak bisa tidur. Ia membayangkan siang yang akan datang. Ia membayangkan panggung yang memanggil-manggil. Wiwiek tidak yakin apakah kegelisahannya beribu pada ketakutannya pada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di atas panggung (entah penonton yg terlalu ramai atau kualitas musik mereka tiba-tiba tak seseru biasanya), atau beribu pada perasaan gembira menantikan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di atas panggung (barangkali penonton yang menyenangkan, siapa yang tahu?).

Wiwiek adalah biduan untuk Irama Aduhai, Orkes Melayu kecil-mungil yang keliling dari panggung ke panggung di sekitar Deli Serdang. Di tahunnya, orang-orang dari Batavia mengejek Orkes Melayu dengan sebutan dangdut, mengimbuhi musik yg mereka mainkan dengan kata-kata tidak enak yang seringkali menyakitkan hati walaupun kadang lucu karena tidak seperti ejekan: musik goyang pantat (mereka biasanya menyebut kata dangdut sambil menggoyangkan pantat mereka: ke kiri, sambil mengatakan dang. ke kanan, sambil mengatakan dut). Sungguh mereka itu terkadang lebih melucu daripada menghina.

Subuh datang tidak bersama kantuk. Wiwiek masih gelisah di kamarnya, melihat ke langit-langit, menghitungi plafon. Barangkali ia membayangkan wajah Komar, pemain gendang untuk Irama Aduhai. Komar sangat sopan kepada Wiwiek. Mengucapkan selamat pagi, selamat siang, selamat sore, selamat malam dan menanyakan "Apakah Wiwiek sudah makan?". Wiwiek tersenyum pada plafon. Ia tidak pernah tahu apakah Komar pernah ikut pelatihan militer atau hanya sedang belajar mengucapkan salam bahasa Indonesia. Sebab Komar tidak terlalu pandai berbahasa Indonesia walaupun ia sangat fasih berbahasa ritme dan ketukan.

Kantuk akhirnya menghampiri Wiwiek, sebelum masjid di dekat rumahnya membunyikan adzan lewat udara. Wiwiek akhirnya tidur, ditemani kekhawatiran dan rasa
Gembira.

http://9lightsproduction.multiply.com/journal/item/26/Lomba_FF_Ninelights

Awal Karierku Sebagai Seorang Teman Ibadah Pascabayar

Beginilah bagaimana aku memulai karirku sebagai seorang teman ibadah pascabayar: Di suatu kamar tidur yang dingin oleh pendingin udara, di mana jendela-jendelanya sudah diselimuti gordyn-gordyn menutupi jendela yang menampilkan pemandangan gelap dan meneruskan bunyi dari kodok, jangkrik, ayam, burung-burung dan nyamuk-nyamuk, aku tiba-tiba ingin meludahkan kejujuran “Ma, aku tidak mau lagi ke gereja”. Sebenarnya aku terpikir untuk menggunakan kalimat-kalimat lain yang lebih jujur dan naluriah seperti: ma, aku membenci keimanan atau ma, aku gnostis. Tapi kejujuran yang diawali dengan kata benci adalah kejujuran yang tidak akan sampai ke telinga kawan bicara. Biasanya telinga seorang kawan bicara akan menebal, berduri, dan bertanduk saat kita membicarakan kebencian yang tidak kompak. Dan akupun tidak yakin bahwa termasuk sopan untuk memperkenalkan mama pada pandangan baruku mengenai pertemanan intim manusia dengan teman imajiner yang (kadang) bernama tuhan di hari yang sama dengan aku memperkenalkan kebencianku pada keimanan.


Diam lebih sering muncul daripada suara, malam itu, di kamar itu, di antara mama dan aku.


Namun, kalimat berikutlah yang menjadi penjelasan paling lugas perihal bagaimana aku mengawali karierku sebagai teman ibadah pascabayar: “Melewatkan kebaktian setiap hari minggu adalah tandatangan persetujuanmu untuk tidak kuanggap sebagai anak yang kupelihara dengan uang setiap bulan”


Entah karena aku sedang beruntung atau mama sedang dermawan, malam itu aku berhasil menawar kontrak kami menjadi duaminggu sekali, dan bukannya setiap minggu. Semenjak itulah aku rajin mengunjungi rumah ibu malam-malam hari sabtu, untuk bersama-sama mengikuti kebaktian di gereja keesokan paginya. Biasanya, saat sore telah sampai di hari minggu, mama membekaliku dengan uang ekstra untuk ongkos pulang (ke kontrakanku dekat kampus). Kadang-kadang, saat aku sedang ingin melucu, aku menolaknya “Uang yang kau berikan setiap bulan sudah cukup untuk menemanimu hari minggu kedua dan keempat setiap bulannya. Aku tidak tertarik untuk lebih sering lagi menyiksa pantatku untuk duduk di gereja bersamamu di hari-hari lain.”
Ia hanya sekali tertawa mendengar itu. Barangkali, sekali waktu, ia pernah waras.


Klienku tidak hanya mama. 


Di minggu-minggu di luar minggu yang sudah dikontrak oleh mama, aku berkunjung ke rumah opung. Aku menemani opung ke gereja, dan sepulangnya kami dari sana, ia akan menghadiahkanku makan siang di restoran. Setelah itu, ia pun akan membiarkanku tidur siang dan berendam air hangat di rumahnya, lalu membekali aku dengan ongkos pulang.


Selain teman ibadah gereja, aku pun pernah dikontrak beberapa kali untuk menemani belanja. Pekerjaan sebagai teman belanja tidak membuatku merasa harus mengganti nama pekerjaanku di kartu nama. Sebab, bukankah kegiatan belanja adalah ibadah juga?

Bagian Pembuka untuk "Perek Off-Duty"


Berbalutkan ketelanjangan, dua tubuh menarikan tarian yang erat, penuh keintiman dan keringat. Barangkali merayakan berahi, atau berusaha menghadirkannya. Kedua tubuh itu telah usang dan kering. Hanya ada sedikit sekali sisa kebeliaan di sekitar selongsong mata mereka. Mungkin mimpi indah jarang menghampiri keduanya. Atau kantuk memutuskan untuk tidak berkawan dengan mereka. Kedua tubuh itu menari sampai sekitar pukul 11 di hari terang, dekat jam istirahat para buruh. Salah satu tubuh akan bangun, menelusuri lantai, mengikuti bau kulkas, mengambil apapun yang baunya tidak terlalu maut. Sekali waktu, brokoli kecil yang gemuk dan afro. Kali ini, kentang mentah yang sudah semalaman direndam air garam. Ia menjentikkan jari telunjuknya kepada kentang-kentang yang berendam dalam rantang, dengan centil bertanya “Manakah di antara kalian yang ingin berkunjung ke dalam perutku selama beberapa jam?”. Ia biasanya memilih tiga kentang yang jejak kupasannya paling serampangan “sebab kerapihan milik buruh, bukan tamu-tamu tubuh”. Ketiga kentang tadi kemudian diperkenalkannya dengan pisau, sendok goreng, dan wajan. “Bertemanlah kalian dengan akrab sebelum minyak goreng datang”. Di akhir perkenalan yang intim dan bersahabat itu, ia menumpahkan minyak atas mereka, menyatukan mereka dalam kehangatan. Ia membaringkan potongan-potongan kentang yang telah bersatu di atas piring yang pipih dan berwarna putih, menaburkan garam atasnya, sembari menaruh mangkuk mungil berisi saus sambal di atas piring (yang pipih dan putih itu), di pinggir persatuan kentang. Ia akan membawa keramaian piring itu untuk menemaninya berdiri bersandar dekat jendela di ruang tengah. Ia akan membuka jendela dengan gembira sambil menggumamkan sebait-dua lelaguan dari Lisa Ono. Ia menyanyi dengan bahasa bunyi, karena lirik lagu bukanlah sesuatu yang ia biarkan berlama-lama di kepalanya (walaupun bunyi dan nada diperbolehkannya bermanja berlama-lama). Dekat jendela biasanya ia menemukan gelas berisi air minum, sisa semalam. Ia memegang kuping gelas itu, menumpahkan isinya keluar lewat jendela dengan irama yang terbiasa. “Pajakku telah kucicil”. Ia selalu percaya air yang tumpah akan jatuh ke tanah, memberi minum makhluk-makhluk tanah yang minum air. Ia selalu berdiri santai memperhatikan pemandangan di luar jendela, mempersembahkan senyum yang kecil dan sederhana kepada pemandangan di luar sana. Kali ini ada yang berbeda. Ia berkata pada tubuhnya dengan bahasa yang audibel “Hari ini kau adalah seorang perek yang sedang mengambil cuti”. 

Pembicaraan di Meja Makan

Ada ketegangan yang tidak pernah bisa kita bicarakan. Ada kekakuan yang tidak pernah melunak. Ada kebekuan yang tidak pernah mencair, dan kita sadar betul.

 Kita duduk di ruang makan, di meja persegi: Aku duduk di kursi kepala keluarga, sebab untuk urusan kursi pun kita hierarkis. Kau di sebelah kiriku, menyisakan satu kursi kosong di sebelah kanan: sebab meja ini untuk bertiga. Tidak ada kursi di seberang kursi kepala keluarga, sebab sumber kewenangan kepala keluarga adalah ketiadaan ruang untuk persaingan. Ada ketegangan yang tidak pernah bisa kita bicarakan.

Ada kekakuan yang tidak pernah melunak. Ada kebekuan yang tidak pernah mencair. Ada kediaman yang tidak pernah bisa kita paksa bicara. Sepuluh menit sejak kita duduk, dan kita masih dengan keheningan yang sama. Kita tidak mematung, sebab patung tidak mengedipkan matanya, dan patung tidak secara aktif menghirup oksigen dan menghembus uap air.

 Ada ketegangan yang tidak pernah bisa kita bicarakan. Ada kekakuan yang tidak pernah melunak. Ada kebekuan yang tidak pernah mencair. Ada kediaman yang tidak pernah bisa kita paksa bicara. Tigapuluh menit sejak kita duduk, dan kita masih dengan keheningan yang belum bubar. Hidungmu mulai menerima rangsangan dari partikel darah yang beterbangan: anyir, seperti karat. Amis, seperti ikan yang terlalu lama menggelepar di darat. Gosong, seperti satai yang terlalu lama dibakar.

Ada ketegangan yang tidak pernah bisa kita bicarakan. Ada kekakuan yang tidak pernah melunak. Ada kebekuan yang tidak pernah mencair. Ada kediaman yang tidak pernah bisa kita paksa bicara.

Limapuluh menit sejak kita duduk, dan keheningan belum pergi. Kita tidak saling melihat. Aku tidak melihatmu, dan tubuhku tidak merasa dilihat-lihat oleh matamu. Tapi aku merasakan kehadiranmu di kepalaku. Barangkali ada sidang besar di kepalamu, membicarakanku. Di kepalaku tidak ada sidang besar. Hanya ada dua kembar yang duduk di sebuah sofa merah, saling memunggungi dan berbicara dengan bahasa kesunyian.

 Ada ketegangan yang tidak pernah bisa kita bicarakan. Ada kekakuan yang tidak pernah melunak. Ada kebekuan yang tidak pernah mencair. Ada kediaman yang tidak pernah bisa kita paksa bicara. Tujuhpuluh menit sejak kita duduk, dan suara belum hadir. Aku mengingat-ingat perkenalan kita. Aku mengingat-ingat berapa kali hujan turun di bulan Juni. Aku mengingat-ingat bau gerimis dan rasa tanah. Gerimis adalah pacarku, dan tanah adalah pacarmu. Ada ketegangan yang tidak pernah bisa kita bicarakan. Ada kekakuan yang tidak pernah melunak. Ada kebekuan yang tidak pernah mencair. Ada kediaman yang tidak pernah bisa kita paksa bicara.

 Sembilanpuluh menit sejak kita duduk, dan gerak belum lengkap. Aku mulai bertanya-tanya, dari mulut siapa ketegangan berikutnya harus mulai. Cepat atau lambat, kita harus membicarakan gerimis dan tanah. Mereka di sini, dan mereka bau anyir. Mereka di sini, dan mereka bau amis. Mereka di sini, dan mereka bau gosong. Pacarku telah ku kembalikan pada bau. Pacarmu, telah kau kembalikan pada gosong. Aku membunuh pacarku dengan air, kau membunuh pacarmu dengan api. Kita melakukannya bersama di ruang makan. Sebab segalanya sudah disiapkan.

 Ada ketegangan yang tidak terelakkan. Kekakuan hadir dalam gerak. Ada kebekuan yang menyakitkan. Tapi kediaman mulai mengalah, permisi keluar dan digantikan bahasa suara.

 Aku menopang daguku dengan tangan kanan, memainkan telingaku sebentar, lalu mengunjungi rambut dan menyapanya dengan gemelitik pelan. Aku mengundang suara untuk datang. “Jadi, apakah kau masih ingin tidur dengan anjing?” . Kau tersenyum dan akupun juga. “Tentu tidak. Dan aku yakin kaupun berniat untuk selamanya tidak tidur dengan babi.” Lalu kita tertawa dengan suara yang tidak terlalu bising.

Partial Hundred –Separuh Ratus

Obrolan saya dengan mama malam ini membawa saya pada monolog-monolog tentang pembagian persenan: Divisi-divisi, departemenisasi, bagi-bagi.

Selain yang absolut, tidak ada yang 100%. Hidup adalah beberapa persen masa kini, sebagian persen kenangan masa lalu, sejumput tujuan masa depan. Mengetahui kapan ketiganya berpisah; dan kapan ketiga-nya bertemu, maka PR saya akan selesai, dan tidur saya akan nyenyak.

Saya akan mulai dengan label, penjahat paling jahat.

Gay, homoseksual, bodoh, cerdas, jenius; tidak akan hadir tanpa deskripsi; dan akan berbahaya tanpa definisi. Label-label ini hanya hidup dengan penjelasan tertentu, dengan pembatasan juga. Saya katakan bodoh jika mengikatnya seperti borgol pada tubuh yang terus bertumbuh: kita.

Kita –saya dan kamu, adalah makhluk yang terus berubah; bertumbuh. Label mungkin akan befungsi hari ini; tapi tidak kemarin, atau besok. Cerita berubah karena waktu pun tidak berdiam diri. Sebut saya gay jika suka pada laki. Atau banci, jika saya pantas dipanggil demikian. Tapi, saya tidak mau mengikatkan diri pada label ini. Hanya karena saya sempat dipanggil gay, tidak berarti saya harus ikut apa yang dilakukan orang lain dengan panggilan sama. Jika ada yang memilih untuk menikah dengan perempuan, dengan laki-laki, atau dengan kesendirian, mereka memilih. Dan saya pun punya hak untuk memilih. Karena masing-masing memiliki dimensi-nya: lalu, kini, dan akan. Dimensi lalu yang berbeda, akan mempengaruhi pilihan saya pada cerita kini.

Manusia sering lupa pada kemanusiaannya. Saya katakan demikian, karena beberapa orang lebih suka hidup sebagai judul; sebagai label. Ada yang hidup sebagai pembantu, lantas apa-apa dikaitkan dengan pembantu. Lagu, harus a la pembantu; Hiburan, harus a la pembantu; Baju, harus a la pembantu; sampai urusan yang sudah terlanjur dilakukan, masih diungkit pula: nama, harus gaya pembantu (.Saya pakai contoh ini hanya karena kebetulan kepikiran saja, tidak berniat profesis).
Manusia sering lupa bahwa ia manusia: ia hadir lengkap –bukan hanya tubuh saja, melainkan juga jiwa. Saya –dan kita, hadir dengan banyak organ jiwa: mimpi, masa lalu, harapan, rasa tertarik, rasa jijik, keinginan, dan banyak lagi yang sebenarnya bermuka sama –namun namanya saya bedakan, supaya banyak contoh.

Menyerahkan diri 100% pada orang lain berarti menghamba; dan perbudakan semakin banyak saja terjadi. Ada perbudakan yang terjadi karena kurang tahu, atau tidak sadar: Istri yang mengira harus patuh penuh pada suami; bawahan yang salah mengartikan bahwa kontraknya mengharuskan ia tunduk pada bawahan. Untuk ini, salahkan hierarki. Hierarki mengajarkan kita ada yang harus membawahi yang lain hanya karena faktor-faktor yang sebenarnya horizontal. Ganjil. Aneh. Perempuan dan laki-laki yang “level”-nya setara, misalnya. Pembedaan harusnya berorientasi pada kemampuan bawaan, dan kemampuan yang dipelajari. Bukan berdasar pada jenis kelamin yang dibawa-bawa. Karyawan perusahaan juga demikian. Bukankah masing-masing punya tugasnya? Sesuai kemampuan; pengorbanan; pertaruhan; dan pengalaman. Saya pikir pembagian pekerjaan sudah cukup adil jika tidak ditambah-tambah hierarki atasan-bawahan. Tidak harus jalan jongkok setiap bertemu atasan, kan? Cukup hargai kemampuan dan pengalaman. Tidak usah menghujani-nya dengan jilatan. Risih, lho, dijilat terus.

Masalah ini akan bersinggungan dengan Hak Asasi Manusia. Kodrati. Pancasila juga mengambil tengah dari Liberalisme dan Komunisme. Tidak menjadikan diri manusia bebas seenak udel; tidak juga mengikatkan diri pada kepentingan umum dan menyerahkan tubuh untuk menghamba: Melainkan, kebebasan yang bertanggung jawab. –Ah, betapa cintanya saya dengan ide lawas ini. Pancasila mungkin didandani gaya terkini agar tidak disebut lawas, dan dijauhi kaum yang khusus mengejar hal-hal baru.

Saya mulai keluar konteks, ya? Maaf. Sampai di mana, tadi?

Ah, ya.

Saya pikir, solusinya adalah untuk setiap manusia menyadari hak dan kewajibannya. Jangan hak saja, atau kewajiban saya. Karena itu berarti absolut lagi. Kan, judul-
nya Separuh Ratus. Selalu ada pembagian porsi bagi yang tidak absolut.

Sekarang sedang tren menikah dengan perjanjian pranikah. Saya pikir ini bagus, karena di negara penjunjung etiket seperti kita, batas seringkali bias. Hukum tidak kabur, karena memang tertulis. Lisan yang kabur, karena lidah tidak bertulang. Ingat saja berapa banyak harta yang ludes karena hanya disetujui dengan perjanjian lisan? Bayangkan jika berlanjut. Kita tidak akan tahu seberapa berhak negara ini menggali halaman belakang rumah kita jika diduga mengandung emas.