Rouge Maiden

Menceritakan kembali kepahitan tidak pernah semenyenangkan yang saya bayangkan. Peluh dingin mulai rintik mengembun; mata berkabut dan pekat gaduh. Ijinkan saya mulai agar kita punya kisah untuk dibaca: Kala itu surya masih kemuning; namun saya tidak dapat melihat dengan jelas. Udara tidak terik; namun raga saya tidak lekas diam berpeluk rasa nyaman.
Kala itu hari Selasa, sejauh saya ingat. Tempo saya jadi luar biasa perasa. Hari bayang saya diikat nelangsa tak mau lepas juga. Saya tiba-tiba ingin hujan turun saja. Basahi petak saya berpijak; ijinkan tanah longsor; dan bawa saya terkubur di dalam. Ijinkan saya tenggelam dalam diam hitam. Atau, angin saja dibuat ribut. Jangan bawa saya terbang, itu terlalu indah. Yang saya butuhkan adalah kekacauan. Terbangkan meja atau papan tulis di depan saya dan biarkan mereka menimpa saya agar lekat pipih rapi. Atau sengat matahari, lelehkan kaca jendela dan biarkan saya terperangkap di sana.
Jangan biarkan hari ini biasa saja.
Pahit biasanya diawali manis atau dibayangi legit; agar saya bisa membandingkannya.
Pagi kala itu, saya menguapkan wewangian kesukaan saya: harum mangga dan markisa; vanilla dan musk; teh bunga dan methanol.
Pagi saat itu, saya mengenakan variasi seragam kesukaan saya: Seragam putih abu-abu dengan baju hangat warna merah darah; kaus kaki sepanjang betis dengan bordir bunga sedikit; kalung wool kecil; gelang kayu merah-hitam-hijau; dan bando putih. Membayangkannya sekarang berarti mengakui bahwa sesekali saya pergi ke sekolah seperti orang jual diri. Seperti prostitusi belajar di institusi.
Mengenangnya kembali berarti membiarkan pelupuk mata saya lembab. Saya jadi cengeng saat mengenang masa lalu; rapuh dan runtuh segala ketegaran yang saya bangun paruh demi paruh.
Jika saya menghentikan kenangan ini, maukah kamu terus mengamati tarian bibir saya? Atau jentikan hentak jemari ini mulai membosankanmu; membuat matamu perih dan tengkukmu pegal?

Kala ini, sore hari: saya dikulum rintik hujan dan digelitik angin dingin. Bergegas saya mencari tempat berteduh; lalu sampai. Tiba saya dan meletakkan payung segera; bergegas-gegasan mencari atap teduh. Payung hitam; jaket hitam; mata hitam: kini saya sang janda hitam.
Atap itu meneduhi warung kopi. Jangan bayangkan Starbuck. Ini warung kopi Bu Dabar.
“Sore” yang menunggui warung tersenyum. Menu disodorkan.
Saya balas tersenyum, “Ya”. Menunduk sedikit, “Terimakasih telah menyediakan atap. Kopi hitam panas, jangan pakai gula, dan minta satu mangkuk es. Terimakasih.” Saya tersenyum lagi, mengembalikan menu, dan melihat ke arah matanya, lalu tersenyum lagi.
“...” Ia seakan ingin bertanya, namun tunda. Mungkin henti. Tanda tanya terlanjur ia telan, tidak semudah itu untuk dikeluarkan.
Saya membuat diri terhibur dengan melihat ke luar. Beruntung warung ini punya jendela yang besar; pemandangan kota kala hujan seringkali membuat saya tersenyum. Dingin; kelam; berangin: ia ingin sesekali meminta pada angin untuk mengajarinya melayang. Mungkin dengan cara itu ia tidak perlu tergoda menelan hashish dan malu pada diri sendiri karena membatalkan janjinya untuk selibat dan tetap suci. Sayangnya, tidak keduanya. Angin tak bergeming; dan dirinya terlalu penakut untuk menelan hashish.
“Kopi hitam?”
Saya melihat matanya, lalu menatap baki.
“...” Ia diam lagi.
Saya menatap matanya, kemudian tersenyum.
Saya mengerti jika mereka –yang mengantarkan pesanan- selalu ingin tahu orang macam apa yang memesan pesanan seperti itu. Apa kamu juga?
Kopi hitam tanpa gula; masih mengepul.
Jejari saya mendekap gelas dan mengijinkannya berbagi hangat. Saya dekatkan ia ke bibir saya, lalu membaui kepulnya. Ini kopi medan: wangi cengkeh dan seakan pernah dicelupi daun jeruk, ia asam segar yang tidak manis. Ramuan panas, kelam, asam, perih. Puas membauinya, saya mulai mencelup bongkah-bongkah kecil es batu – yang bahkan berbentuk mirip batu. Pecah pipih-pipih. Saya membiarkan 3 bongkah mengapung pada kolam hitam. Mengamatinya meleleh; lalu ingin ikut.
Kamu masih ingin tahu, orang macam apa yang memesan kopi hitam pahit dengan batu es? Sini, saya jawab: orang yang patah hati menahun karena satu-satunya yang bisa ia peluk di dunia ini hamil saat sekolah. Pacarnya yang perempuan –yang laki diputusnya malam-malam saat berani memonyongkan bibir-. Hari selasa, kala itu, ia ingat. Ia tidak melihat sosok sang perempuan muncul pada gerbang. Hanya ibu yang bersangkutan, dan surat. Surat bohong –untuk apa mereka tulis surat jika sirat sudah begitu jelas?- berisi keterangan bahwa yang bersangkutan akan cuti sekolah untuk satu tahun, dan akan mengejar ketinggalan pelajaran dengan ikut program menyekolahi rumah atau sekolah di rumah atau apalah itu.
Teman sekelasnya tahu jelas. Yang bersangkutan sudah beberapa bulan hamil. Dengan siapa pun semua tahu. Semua kecuali ia. Cerita akan hambar tanpa goda sesumbar: semua jawaban jadi bias dan pertanyaan muncul babar blas; “Bukannya kemaren dia mau gugurin itu kandungan?” “Eh, masa sih hamil? Emang seheboh itu, ya?” “Cowoknya beneran yang itu? Bukannya dia gaul sama yang lain juga?”
Tak perlu menunggu satu bulan; dua minggu berlalu, dan berita hangat untuk sabtu pagi sudah berganti berita kepala.
Saya tidak bisa melupakannya. Melupakan ia –bukan sensasi yang ia tinggalkan sebagai kenang-kenangan sekolah-.
Ia satu-satunya yang ada di sana saat saya pikir semua orang di dunia adalah pengusaha oportunistik. Ia menggantikan organisasi keagamaan yang saya kira fundamental. Radikal ternyata tak berarti fundamental. Mereka adalah para modernis tanggung; dipikirnya dengan agama orang boleh diatur-atur. Seingat saya agama itu hubungan saya dengan yang di atas. Bukan dengan para penjamah dari organisasi yang mengaku ditunjuk Tuhan. Saya punya nilai-nilai yang saya hargai; dan tahu cara cecara yang dalam mengamalkannya. Secara relevan. Tidak didaktik.
Hiperdermis sesekali dikuliti; yang selesai waktunya pun akhirnya berganti: Saya ingin mengembalikan semuanya pada relevansi.
Saya mimpi jika merancangkan apa yang seharusnya terjadi. Hak memilih pun kadang berbenturan dengan nurani lemah yang mengangguk iba melihat orang lain mengulurkan tangan minta tolong –padahal hari sebelumnya merekalah yang menjulurkan lidah tiap kali saya hadir. Atau diam-diam menunjuk dengan jari tengah tiap kali saya berdiri. Saya memang lelucon prostitutif.-
Masa lalu memang biasa diceritakan dengan tambahan sana-sini. Dikurangi juga sini-situ jika sang empunya pemalu seperti saya.
Anggap saja ini muntahan seorang yang kecewa; paduan suara orang-orang yang merasa dikhianati: muntahan yang selalu berwarna namun tak jelas asalnya apa.

Who. .are. .you?

That’s a 3 words question that always spawns aeons of silence pause.

Err.. Saya selalu ragu saat ditanya begini (the tell-us-about-you thingies). Dalam kejadian-kejadian formal –forum, kelas baru, dll- saya biasa membacakan apa yang secara okasional saya tuliskan di formulir data anggota/ peserta: Nama (Johan Anugrah Pardamean Tampubolon); Umur (17 tahun sekian-sekian); Tempat, Tanggal Lahir (Pangkalpinang, 7 Juni 1992); (Saya rasa Status Marital, Nama dan Pekerjaan Orangtua, tidak terlalu penting untuk disertakan. Atau penting?) Single; Belum pernah menikah (oh, well, bahkan berpacaran saja belum). Saya sekarang masih SMA. Kelas 3. IPS (Is this a scholarship application or something? - -“)
Saya ragu apakah kondisi serebral dan fluks solar plexus akan relevan untuk waktu-waktu mendatang (karena perubahan saya tidak pernah memberi notifikasi terlebih dahulu. Apalagi reservasi). Tapi, saya pikir akan menyenangkan untuk membuat anda bosan. Jadi, bersiaplah. I’ll spill you on things that have piqued my interest :)
Relevansi saya dengan proyek ini: Beberapa bulan yang lalu (Saya lupa pernah menuliskan gagasan ini kapan), saya ( dan mengajak seorang andro) merencanakan untuk membuat blog keroyokan dengan judul Young Fine Q; Yang akan berusaha memuat tulisan-tulisan dengan misi mengurangi ke-alay-an muda-mudi queer. Kami (tadinya) akan membahas “Do’s & Dont’s”; “Hots “& Nots”; Fashion & Grooming; Ide-ide menghabiskan waktu (review buku, musik, dan ide-ide aplikabel lainnya). Sayangnya, kami seorang prokrastinator kronis. Penundaan terlihat begitu menggoda.
Saya adalah apa yang orang-orang sebut “super-absorbent sponge”. Saya nisbi. Saat berusaha mendefinisikan ( i hate this word) diri dengan satu sifat tertentu, semesta dengan manisnya menunjukkan saya yang sebaliknya. Mudahnya, saya seorang peniru! Saya akan terobsesi dengan seorang penulis tertentu dan mengikuti jalan pikirannya (dan tidak mengakui itu. Plus, saya akan menghina sang penulis); Semesta juga (dengan manisnya, lagi-lagi) akan menunjukkan keterkaitan saya pada suatu cerita (baik film, buku, dan tutur kata). Saya jadi rajin (sebelum semesta menunjukkannya dengan vulgar) menemukan benang-benang sinkronisitas antara saya dan apapun di sekeliling saya. Hal ini bisa menyebabkan kondisi mood yang baik, atau sebaliknya: Saya akan jadi depresif, suisidal, dan melankolik (imbuhan –is menunjukkan pelaku, atau “orang yang –“). Mungkin saya mengidap Bipolar. Tapi, karena belum pernah memeriksakannya, dan saya rasa juga tidak semudah itu mendiagnosa melalui gejala-gejala ringan, saya rasa saya hanya melebih-lebihkannya.
Saya tertarik pada Psikologi, Antropologi, dan Filosofi. Tiga ilmu ini adalah ilmu serakah, karena menuntut saya untuk tertarik pada hampir semua ilmu. Ya, sebut saja semua. Dan, bukan ilmu murni saja. Saya selalu berusaha mencari fungsi aplikabel dan relevansinya dengan kekinian.
Saya juga penggemar fotografi mobile (karena tidak punya uang untuk membeli SLR, tentunya). Juga, Arsitektur, dan Desain (Oh, how i love aesthetics!). Saya juga salah seorang dari orang-orang gila yang berpendapat bahwa semua orang adalah seniman! Semua orang berekspresi, kan? Menulis, Menari, Menunjukkan emosi, berkarya, semuanya! Mengutip dari Anton Ego dalam Ratattouile: “Not everyone could become a great artist; But, a great artist could come from anywhere” Err.. tidak secara vulgar relevan. Tapi, intinya begitulah: Semua orang (ralat. Semua entitas dan deitas) adalah seniman!

Jangan tuntut saya karena bercerita kepanjangan.

What If I Could Tell You This?

Pada mulanya, sebagaimana kebanyakan hal bermula, adalah mimpi. Impian itu lahir besar, namun rapuh; Indah, namun abu-abu; Meledak-ledak dan berpijar, namun tidak panas. Orang-orang yang saya temui, beberapa mengatakan: Hanya mereka yang tidak menyerah yang berhasil merajut mimpinya menjadi bayi yang bergerak; yang dapat dilepas ke dunia; yang kepemilikannya tidak lagi hanya milik satu ruang di serebrum semata. Saya tidak setuju dengan ini. Menurut saya, impian yang gagal dirajut tidak mutlak milik mereka yang menyerah. Seringkali, (bahkan lebih sering dari mereka yang menyerah) rajutan yang tidak sempat dilahirkan adalah milik mereka yang pelupa.
Impian itu, sebagaimana simpul kusut dalam benang, dapat muncul kapan saja; pada siapa saja; dan di mana saja. Kali ini, satu datang menimpa saya: Saya bermimpi akan menceritakan ini; hal yang berhasil membuat saya menertawakan dunia tiap kali mereka membuat lelucon. Hidup ini lucu, sungguh.
Cerita ini dimulai dan berakhir tanpa ledakan. Jangan mengharapkan yang berlebihan.

Satu: Integration, Eh?
Satu hal yang jadi bahan tertawaan saya adalah segala hal yang berbau kesatuan: integrasi, semangat kebangsaan, nasionalisme, dan, yang mungkin akan jadi favorit: politik. Hal-hal yang saya sebut ini, sering dimispretasikan; disalahtafsirkan dengan sengaja, atau tidak sengaja; juga, dijadikan alat tipu-tipu.
Sebagaimana yang telah saya tuliskan pada paragraf ketiga, ini bukanlah cerita yang hebat. Saya hanya akan bercerita tentang apa yang terjadi dalam area yang selama lebih dari 2 tahun terakhir ini saya pijaki hampir setiap hari: sekolah saya.
Upacara senin, saya adalah satu dari mereka yang berteriak menyebutkan nama sekolahnya dengan awalan seruan “Hidup!”. Tapi, tanpa niat diam-diam (karena saya ribut sekali), saya adalah satu dari mereka yang duluan mencibir saat ada yang memuja sekolah kami dalam pujian penuh sirik. Saya harus katakan ini pada mereka: kalian telah dibohongi.
Pelabelan sosial adalah satu contoh keahlian politik manusia: memberi klasifikasi pada orang-orang, siapa yang masuk kotak kawan, siapa yang masuk kotak lawan, dan siapa yang masuk kotak pun tidak usah. Jangan salahkan politik untuk hal ini. Ia hanya mengabdi pada etimologi yang iseng-iseng saya runut: Poli untuk banyak, litik untuk pecah. Ini adalah taktik pecah belah. Pertanyakan lagi konsep integrasi anda.
Integrasi yang sebenarnya adalah terhubung secara keseluruhan. Bukan pemisahan kawan-lawan, bukan menjadi nomor satu untuk menyisakan nomor buntut. Integrasi adalah bersama kelompok mencapai tujuan bersama, melakukan apa yang baik bagi dirinya, dan apa yang baik bagi kelompok. Seperti yang disinggung teori Ekonomi Modern: Jika beberapa pihak mengejar 1 tujuan, tidak akan ada yang menang: Semua perang, Semua berang; Semua bertabrakan; semua berantakan.
Lakukanlah sesuai kemampuanmu yang bisa kamu berikan untuk kelompok, tanpa perlu memperebutkan kemenangan atas pihak lain. Dunia akan indah jika petani memberikan beras pada penjahit dan nelayan, penjahit memberikan jaring pada nelayan dan pakaian pada petani, dan nelayan memberikan ikan pada petani dan penjahit. Ini, adalah integrasi.
Sekolah kami, menjadi bagian dari permainan politik ini: Sebagai politik domestik, maupun politik ekstra-areal. Domestik, adalah pemberian label secara koersif bagi tiap-tiap anak. Terkadang, yang terjadi adalah keberpihakan implisit: anak-anak tertentu yang diberikan imunitas terhadap sanksi dan penalti, anak-anak tertentu yang dijadikan prioritas dan dilayani layaknya melayani tamu restoran (senyum 24/7, dan disuapi tiap kali makan –ini bohong-). Yang eksplisit: Anak jurusan IPA berhak menerima hak lebih dulu dibandingkan anak jurusan IPS, anak pejabat dijadikan prioritas dulu dalam mendapat beasiswa dan program-program pertukaran pelajar.
Saya benci ikut-ikut memberi label.
Tapi, sayangnya, posisi saya sekarang adalah pewarta. Saya menceritakan sebuah cerita. Saya belum puas membubuhi cerita ini dengan pandangan saya. Belum.
Saya berusaha keras untuk tidak ikut-ikutan memberi label. Sayangnya, usaha saya mungkin belum cukup keras. Walaupun temporal, saya juga ikut-ikutan menghina urakan anak IPS dan menghina oportunitas anak IPA. Lagi-lagi temporal, saya menghina guru-guru yang menjadikan sekolah ini area berpolitik.
Saya sadar, sebagai pelajar, tugas saya adalah belajar. Sekolah ini, (terimakasih), karena kebaikannya, telah memberi saya bahan belajar yang melimpah: (atas nama relevansi pada subjudul kita,) Politik. Saya belajar tentang keberpihakan, saya belajar tentang efek citra, saya belajar tentang penipuan, saya belajar tentang penyatuan semu, saya belajar tentang bagaimana berkhianat demi mencapai posisi puncak. Membayangkannya, saya jadi semakin ingin berterimakasih.
Saya bingung bagaimana menuliskan kesimpulan untuk subjudul yang ini. Saya terlanjur keceplosan dan latah mengetikannya di bagian-bagian yang terserak di seluruh tulisan. Saya kurang sistematis, maaf. Tapi, saya coba buat kesimpulannya: Integrasi tidak memberi rumus yang definit dalam pewujudannya. Namun, jikapun ada: sebagaimana setiap rumus, rumus ini juga akan memiliki variabel. Ya itu, faktor x yang tidak menentu. Karena itu, selesaikan membaca tulisan ini, dan lihatlah ke luar: buat peta kasar yang menggambarkan pihak-pihak yang terlibat dalam integrasi semu ini. Beri masing-masing keterangan mengenai seberapa banyak kuasanya, apa yang ia berikan bagi keutuhan, dan apa yang ia terima. Mereka yang memberi paling sedikit namun menerima paling banyak adalah ia yang berada di balik semua kesemuan ini: sang dalang. Setelah mengetahui ini, tertawalah. Dan buat peta baru tentang bagaimana penyatuan ini seharusnya berbentuk. Gambar, lalu sebarkanlah. Tempelkan di tembok, tempelkan di jalan, tempelkan di tiang listrik. Kampanyekan persatuan. Jangan kampanyekan partai. Karena, sebagaimana politik berbuat demikian, partai juga menginginkan dominasi. Dengan kata lain, kemenangan atas pihak-pihak yang kalah.

Mediokrit dan Mediokritas
Err.. saya gemas. Subjudul ini sudah sedikit saya singgung pada subjudul sebelumnya.
Mediokrit berarti makhluk yang mediokritasnya tinggi: orang-orang tengah, orang-orang sedang. Inilah mereka yang tidak masuk kotak. Mereka yang pelit, karena itu tidak disebut baik. Namun, tidak memasukkan kegiatan menghina sebagai hobi, untuk disebut jahat.
Mereka ini sebenarnya beruntung, lho. Karena, merekalah yang kemanusiaannya masih dihargai: mereka yang kompleksitasnya tidak dipaksakan berada dalam satu kotak pelabelan sosial. Namun, beberapa masyarakat membentuk mereka menjadi mainan di luar kotak yang diteriaki: “STD!”. Atau, “Dangkal!”. Atau, “Average Joe!”. Atau, “Gak jelas!”.
Oh, well, saya sebenarnya menaruh benci pada arus utama (mungkin anda lebih familiar dengan kata mainstream?). Tapi, saat independensi diberi label, saya jadi membenci keduanya. Oh, ralat. Saya membenci label. Label-lah yang sebenarnya jahat. Ada beberapa teman saya yang tidak jadi menaruh keroncong Waldjinah dan Gesang pada daftar putar (err.. playlist) di telepon genggamnya. Hanya karena orang-orang bilang itu “Ga keren!” atau “Tuwir!” atau “Kuno!”. Tapi, coba, deh, dipikir lagi. Saya saja meragukan keberadaan “orang-orang” itu, koq. Gimana kalo sebenarnya, yang selama ini kalian sebut opini masyarakat itu hanya omelannya segelintir orang atau beberapa orang yang kebetulan omelannya mampir ke kuping kalian? Generalisasi itu palsu. Bangsanisasi dan Ideologi juga kesadaran palsu.
What if i could tell you...
...that the world has been lying to you, most time?
Abstrak dan Konsep adalah kata benda definit untuk menjelaskan hal-hal yang infinit. Menutup diri pada satu abstrak atau satu konsep tertentu sama artinya dengan menutup diri pada perkembangan.

How to Rule the World and Overdeal Racial Discrimination

Getting weary of being dwellers to L’archipel Indien? Being “Those Opressed People from the East”? Or, if I’d been more into real sarcasm, “Those People with equal C of Culture and Corruption ”?
Yeah, sure. Like it matter.
There are a lot of way for wannabees like you to be eccentric, to stand-out amongst people. Here are some. Try it. A stare won’t morph you from the Ugly Duckling to Ballet Swan.

1. Be an eccentric one. Think like you don’t belong to the circle. Go laugh at serious matter. Elaborate games. When people see it “Monopoly”, you see it “Alternate Reality Program: Climbing Up to a Tycoon and Purchasing the World by Bucks Not Even Your Own”. Or, at “Quake”, “Doom”, or “Counter-strike”. It’s not how others see it. They’re really a “Survival Training Program: How to Get Back at Terrorist, Monsters-Bigger-than-Bad-Tempered-Teachers, and Looneys-Crazier-than-Ivan”. Yeah. Those are the real picture. You were fooled when they said “It’s all great game!”. They’re not a-just-game. They’re far more serious. Want proof? Google for how much fund they spent on making things that spawn fun. Well, world’s a big liar, mon frere.

2. As for laughing at serious matter, mind your terrain. Don’t say it out loud. You might hurt people. Tsunami is really wave too big as a reaction to a stone too big thrown too fast at the water too big. Hah! Now, you see who’s the big drama? Terrorism is another one: Scared babies up-grown with no ability (and people-who-got-ability who had the will to help) to cure the scare. Instead, they met peers along the way. Fraters and Sorores who share-bear the same terror. Well, they end up making a team who could blow up towers, cafe, and make America blue, while Middle-East Red. Great colouring, pal!
And, to make it worse. Big Brothers wants to join the game: they put the babies in jail, execute them when they think it’s time, making other babies continuing the play. Making it an endless shuffle. A game with amazing replayability. Real-Time strategy with infinite deathmatch. Game is never over. Bah!

3. Mock at stupid jargons that even the l’genesis have no idea on what difference it will gave birth to: Literary Journalism (in more laughable languange: Jurnalisme Sastra), Science Fiction: What are those things? Jurnalisme Sastra, you’re first to mock: Journalism is a way, an ideas of mankind (on future, all livingbeing) materializing their memory into a more solid surface (read: having a diary with lifesucks-lifesucks-lifesucks, in endless repetition, written all over it). And, what’s with Sastra? Ideas on how human write things never their own? Wrong, fool. It’s just a way people put their ideas into. Covered in shady details, or naked in vulgarness, they’re still A LIT. So, what’s so different? Both are ideas on how to make others read about you (‘coz they won’t care to listen to your broken-pitch voice). Why differs?
And, for the second one (SF, it’s your turn, now): So, subsconcious-superconscious, you’re saying that you’re making science-less writing this whole time? Making a crap from your extracerebral imagination? #2 attempt wrong, foolish. Imaginations are science, too. All this world is science. Oh, come on! Don’t tell me you were sleeping at school. Ah, I expect too much from you, i see. This universe is science, you-snoring is science, you-feeling jealousy is science, you-banging your head at stressful time is science, you-attracted to a cutie while having a firm relationship is science, even you-being prefering a member of the same sex in doing steamy phantasm is science! The world is just a big laboratory!
Differing science from real life is as pathetic as seeing difference in Science Classes and Social Science Classes. Plus, as stupid as believing that Science is an enemy to Deism Study (AK-to mediocrite-As Religion). Oh, come on! Believing-slash-Faith is a theory of Brain Study! Of Psychology and all. And, yeah, sometimes Politics, Economics, Anthropology, Sociology, too. It’s all in the lab. So, fool you.

4. Don’t put yourself in a grief, mediocrite. Mediocrity is not a bad thing. At all. I’m not lying. Look at my nose. It’s not pinochio, it’s just white. Geez, I’m just white-lying you! People from the mediocre box tend to accomplish their goal by ways shown in Tv. Mistake is, the good Tv don’t just show up easy. They need effort, jaunty-and-colourful one, which mediocrites are often (to not mention always) missing.

I put this note on idle for quite some days. And, here it goes: It ends without conclusion. Well, yeah, it’s not that easy, as well as difficult, to rule the world. You’ll need either delusion or damn sense of reality.

Lupakan Central Park


Lupakan Central Park. Coret Seine River dari daftar-jawaban-saat-ditanya-tempat-tempat-romantis. Sungai Rangkui di belakang Pusat perbelanjaan pun memantulkan pendar memikat saat saya ingat kamu. Kamu. Kamu dengan segala imperfeksi. Kamu dengan segala cela. Kamu dengan segala arogansi. Kamu dengan segala keraguan. Kamu dengan segala ketidakpastian. Kamu dengan gengsimu. Kamu. Kamu. Kamu.
Saya tidak tahu siapa yang harus disalahkan sekarang. Sang Ratu Adil ini harus mengakui bahwa yang bisa membuatnya melupakan hari buruk adalah seorang remaja, yang menggantung genitalia masculinis ke mana-mana, yang melarang saya baca buku tentang Syekh Siti Djenar hanya karena takut saya tersesat –A-Whaaatt? I already am, you boondock.-, seorang ego yang kurus kering –Boo. I would fancy a hunk better.-

Day #1 of Long-Dead Rising: Trip to Yesterday Times; Laughter; and (Brutal portion of) Contrafanaticism.



Yes. This is the first text after my temporal death.

Pada mulanya adalah lembaran foto; Foto itu tergeletak di ruang tamu; Foto itu dipegang dan dilihat sang Ratu Adil.

Saya, melihat foto-foto masa kecil Kakak dan Abang, segera mengusulkan perjalanan ke Toboali pada Mama. Semesta mengijinkan perjalanan itu terjadi pada hari ini: Rabu. 23.09.09 . Sebetulnya, saya tidak menyangka beliau akan menanggapi celotehan iseng itu dengan serius. (Ya, biasanya saya hanya melakukan pembicaraan satu-arah).

Kami berangkat pukul 08.00[1] . Saya ingin menuliskan banyak detil, sayangnya, saya sedang tidak bergairah untuk menuliskan jurnal perjalanan. Jadi, lagi-lagi, bersiaplah bosan.

Ah, ya, saya mengenakan Long-sleeved Tee HUGO; Jungle Camo Bermuda PASAR; Gladiator Sandals RAMY. +Fine Attitude =Man Whore!

Sebelum berangkat, (Oke, #pengakuan, kami ngaret sedikit. Jam berangkatnya bukan 08.00, tapi 08.40) kami membeli penganan sedikit: Kue-kue di Pasar-kaget Theresia, Bolesa di toko kelontong di sebelah Inggrid Cakeshoppe –dan Keik (cute ver. Of Cake) Ballu (Bolu); Kerupuk; Nutrisari Frut ‘n’ Veggie –Temporal Favourite-; C2 Green Tea Classic –REAL classic, less sugar, LESSS sugar- di toko yang sama (anak yang punyanya cakep :p)-

Then, off we go!

Kami melewati banyak desa. Menarik. Sekali.

Tante Femmy (Anggota rombongan –selain Saya, Mama, Kakak, dan Suami Kakak) menjadi entertainer yang baik, kali ini. Beliau bercerita banyak. Bergosip, tepatnya –Oh, how I love juicy juice of hawt gossip!- :Mengakui kekejamannya menolak menantu sebelum jadi menantu (Isu rasial. Beliau mau menantunya merubah gennya dari Flores menjadi Batak. Oh, well, mirip-mirip,lah!).



Saya mengutarakan rasa senang saya kepada sang tante karena Ia mengakui kekejamannya –yeah, l’Entertainee-. Kakak juga tidak mau kalah berargumen bahwa perjuangan cintanya tidak kalah seru. Ramailah mereka, asyiklah saya ber-facebook ria +mendengarkan Norah Jones, Dewi Sandra, Christina Aguilera –ja, Beautiful. Is that too obvious? *roll eyes-, Joss Stone, Jason Mraz (bukan si I’m Yours dan Lucky yang teroverrasi (overated, anyone? Puh-lease) itu, ini yang Details in the Fabric, Beauty in Ugly, sama yang laen-laen, pokoknya bukan Duo Overration itu); KT Tunstall (saya masih ngerasa dia ngomong sama saya lewat lagu Universe and U sama yang Under the Weather); trus isi mixtape “I’m Yours to Keep”yang didonlot dari mixplustape.blogspot.com –nya Noran Bakrie &fatner (hihihi, it was fun doing typo error intentionally like that); trus, Amy Winehouse. Oh, Andien juga ada. Trus.... ...is this really that l’Importante? Tulung, ya, tutung.. Kalo mo ngintip daftarputar saya jangan di sini, deh.

Kami melewati desa Terak. Saya langsung celingak-celinguk cari tempat makan supermi yang ada dek ke laut-nya seperti kata si Dancu. Ketemu, sih. Tapi, ntah jelas atau ndak di kamera. Noise +distorsi gede-gedean.

Keliatan?

(Waktu itu si Binaa –Robina- sama Dancu bulan maduan gitu –bohong. They love me but they aren’t queer-. Yah, seenggaknya trip mereka waktu itu termasuk telanjang-telanjang di SUATU waduk gitu, deh. Contact management for more deep dig (nyinggung birokrasi).)

Yah, pokoknya, -emfasisi- Tante Femmy banget-banget-banget jadi entertainer di bagian awal perjalanan. Saya teteup asik denger lagu sama FB-an *centil. Mama juga cari cerita biar ndak kalah heboh *yeah, that’s my mom. Kakak konstan memproduksi argumen. Bapak Paima (Panggilan untuk Ayah dari keluarga yang belum punya anak. Pa-ima artinya menunggu. Or, in modern human language: Waiting list. To keep things relevant, Bapak Paima is Suami Kakak).

Sampai akhirnya kami sampai juga pada akhirnya di Koba. Saya langsung sibuk sms-in Kak hanan_dimmy. Isinya centil gitu, deh. Kalo mau baca, kamu harus jadi temen saya dulu, ya. Kita heboh ngebahas besok saya (oh, well, yang heboh Cuma saya) akan pakai baju apa: Kemeja +Jeans +Loafers; atau Tee +Bermuda +CK Boxer –yes, it’s Calvin Klein! IDR 75,000.00 dibeliin mama di outlet (yang ngaku jadi Factory Outlet) di Bandung.- +Gladiator Sandals. Ahh, she told me I’m cute by skin. So, sopan-sopan (intensi mula/ first Intention) mending disimpen buat acara lamaran aja. So, deal, it is. I’ll just be my self tomorrow. I’ll just be another man whore :p



Trus, ke WC gitu, deh. Palette warna pintunya bagus. Trus, ada aksesori hidup gitu, deh. Apa namanya? Oh, iya, serangga berkumis.












Di depan WC selalu ada tembok (kayak yang saya temuin waktu Trip Jawa Timur tahun kemarin). Dan, sebuah peradaban menarik selalu berbaring di balik tembok. Menunggu difoto sang Ratu Adil. So, there it goes. Sebuah foto porno –karena ada gunung dan gumpalan putih. I know u’re just that dirty!- di balik tembok.

(Karena kelamaan, mood nulis keburu ilang :( Please, please, do wait for the mood to strike)


--------------------------------------------------------------------------------

[1] Dalam WIB