Pembicaraan di Meja Makan

Ada ketegangan yang tidak pernah bisa kita bicarakan. Ada kekakuan yang tidak pernah melunak. Ada kebekuan yang tidak pernah mencair, dan kita sadar betul.

 Kita duduk di ruang makan, di meja persegi: Aku duduk di kursi kepala keluarga, sebab untuk urusan kursi pun kita hierarkis. Kau di sebelah kiriku, menyisakan satu kursi kosong di sebelah kanan: sebab meja ini untuk bertiga. Tidak ada kursi di seberang kursi kepala keluarga, sebab sumber kewenangan kepala keluarga adalah ketiadaan ruang untuk persaingan. Ada ketegangan yang tidak pernah bisa kita bicarakan.

Ada kekakuan yang tidak pernah melunak. Ada kebekuan yang tidak pernah mencair. Ada kediaman yang tidak pernah bisa kita paksa bicara. Sepuluh menit sejak kita duduk, dan kita masih dengan keheningan yang sama. Kita tidak mematung, sebab patung tidak mengedipkan matanya, dan patung tidak secara aktif menghirup oksigen dan menghembus uap air.

 Ada ketegangan yang tidak pernah bisa kita bicarakan. Ada kekakuan yang tidak pernah melunak. Ada kebekuan yang tidak pernah mencair. Ada kediaman yang tidak pernah bisa kita paksa bicara. Tigapuluh menit sejak kita duduk, dan kita masih dengan keheningan yang belum bubar. Hidungmu mulai menerima rangsangan dari partikel darah yang beterbangan: anyir, seperti karat. Amis, seperti ikan yang terlalu lama menggelepar di darat. Gosong, seperti satai yang terlalu lama dibakar.

Ada ketegangan yang tidak pernah bisa kita bicarakan. Ada kekakuan yang tidak pernah melunak. Ada kebekuan yang tidak pernah mencair. Ada kediaman yang tidak pernah bisa kita paksa bicara.

Limapuluh menit sejak kita duduk, dan keheningan belum pergi. Kita tidak saling melihat. Aku tidak melihatmu, dan tubuhku tidak merasa dilihat-lihat oleh matamu. Tapi aku merasakan kehadiranmu di kepalaku. Barangkali ada sidang besar di kepalamu, membicarakanku. Di kepalaku tidak ada sidang besar. Hanya ada dua kembar yang duduk di sebuah sofa merah, saling memunggungi dan berbicara dengan bahasa kesunyian.

 Ada ketegangan yang tidak pernah bisa kita bicarakan. Ada kekakuan yang tidak pernah melunak. Ada kebekuan yang tidak pernah mencair. Ada kediaman yang tidak pernah bisa kita paksa bicara. Tujuhpuluh menit sejak kita duduk, dan suara belum hadir. Aku mengingat-ingat perkenalan kita. Aku mengingat-ingat berapa kali hujan turun di bulan Juni. Aku mengingat-ingat bau gerimis dan rasa tanah. Gerimis adalah pacarku, dan tanah adalah pacarmu. Ada ketegangan yang tidak pernah bisa kita bicarakan. Ada kekakuan yang tidak pernah melunak. Ada kebekuan yang tidak pernah mencair. Ada kediaman yang tidak pernah bisa kita paksa bicara.

 Sembilanpuluh menit sejak kita duduk, dan gerak belum lengkap. Aku mulai bertanya-tanya, dari mulut siapa ketegangan berikutnya harus mulai. Cepat atau lambat, kita harus membicarakan gerimis dan tanah. Mereka di sini, dan mereka bau anyir. Mereka di sini, dan mereka bau amis. Mereka di sini, dan mereka bau gosong. Pacarku telah ku kembalikan pada bau. Pacarmu, telah kau kembalikan pada gosong. Aku membunuh pacarku dengan air, kau membunuh pacarmu dengan api. Kita melakukannya bersama di ruang makan. Sebab segalanya sudah disiapkan.

 Ada ketegangan yang tidak terelakkan. Kekakuan hadir dalam gerak. Ada kebekuan yang menyakitkan. Tapi kediaman mulai mengalah, permisi keluar dan digantikan bahasa suara.

 Aku menopang daguku dengan tangan kanan, memainkan telingaku sebentar, lalu mengunjungi rambut dan menyapanya dengan gemelitik pelan. Aku mengundang suara untuk datang. “Jadi, apakah kau masih ingin tidur dengan anjing?” . Kau tersenyum dan akupun juga. “Tentu tidak. Dan aku yakin kaupun berniat untuk selamanya tidak tidur dengan babi.” Lalu kita tertawa dengan suara yang tidak terlalu bising.

0 komentar: