Berbalutkan ketelanjangan, dua tubuh menarikan tarian yang
erat, penuh keintiman dan keringat. Barangkali merayakan berahi, atau berusaha
menghadirkannya. Kedua tubuh itu telah usang dan kering. Hanya ada sedikit
sekali sisa kebeliaan di sekitar selongsong mata mereka. Mungkin mimpi indah
jarang menghampiri keduanya. Atau kantuk memutuskan untuk tidak berkawan dengan
mereka. Kedua tubuh itu menari sampai sekitar pukul 11 di hari terang, dekat
jam istirahat para buruh. Salah satu tubuh akan bangun, menelusuri lantai,
mengikuti bau kulkas, mengambil apapun yang baunya tidak terlalu maut. Sekali
waktu, brokoli kecil yang gemuk dan afro. Kali ini, kentang mentah yang sudah
semalaman direndam air garam. Ia menjentikkan jari telunjuknya kepada
kentang-kentang yang berendam dalam rantang, dengan centil bertanya “Manakah di
antara kalian yang ingin berkunjung ke dalam perutku selama beberapa jam?”. Ia
biasanya memilih tiga kentang yang jejak kupasannya paling serampangan “sebab
kerapihan milik buruh, bukan tamu-tamu tubuh”. Ketiga kentang tadi kemudian
diperkenalkannya dengan pisau, sendok goreng, dan wajan. “Bertemanlah kalian
dengan akrab sebelum minyak goreng datang”. Di akhir perkenalan yang intim dan
bersahabat itu, ia menumpahkan minyak atas mereka, menyatukan mereka dalam kehangatan.
Ia membaringkan potongan-potongan kentang yang telah bersatu di atas piring
yang pipih dan berwarna putih, menaburkan garam atasnya, sembari menaruh
mangkuk mungil berisi saus sambal di atas piring (yang pipih dan putih itu), di
pinggir persatuan kentang. Ia akan membawa keramaian piring itu untuk
menemaninya berdiri bersandar dekat jendela di ruang tengah. Ia akan membuka
jendela dengan gembira sambil menggumamkan sebait-dua lelaguan dari Lisa Ono.
Ia menyanyi dengan bahasa bunyi, karena lirik lagu bukanlah sesuatu yang ia
biarkan berlama-lama di kepalanya (walaupun bunyi dan nada diperbolehkannya
bermanja berlama-lama). Dekat jendela biasanya ia menemukan gelas berisi air
minum, sisa semalam. Ia memegang kuping gelas itu, menumpahkan isinya keluar
lewat jendela dengan irama yang terbiasa. “Pajakku telah kucicil”. Ia selalu
percaya air yang tumpah akan jatuh ke tanah, memberi minum makhluk-makhluk
tanah yang minum air. Ia selalu berdiri santai memperhatikan pemandangan di
luar jendela, mempersembahkan senyum yang kecil dan sederhana kepada
pemandangan di luar sana. Kali ini ada yang berbeda. Ia berkata pada tubuhnya
dengan bahasa yang audibel “Hari ini kau adalah seorang perek yang sedang
mengambil cuti”.
0 komentar:
Posting Komentar