Telah menyelesaikan (lagi) Supernova 2.2: Petir. Dari siang, mata saya tidak lepas. Pusing, sih. Tapi, tidak terbiasa berdiam diri kecuali meditasi. Atau, saat tiba kondisi muted (ini istilah. Miutid. Bukan mbutet). Menjadi sakit berarti terjebak dalam mekanisme: eat-vomit-eat-repeat.
Segala hal dijadikan mainan: amplop paperline yg dimainkan huruf-hurufnya (perline=plain. P-a dipakai a-p menjadi envelope. Terciptalah hubungan: Paperline - Plain Envelope.)
Menjadi sakit juga membuat otak sibuk komat-kamit. Walaupun mulut sudah ditutup sempit. Merutuki bapak yg mengomeli teman yg menjenguk, lah. Kesal pada si abang yg centil chatting dan telpon cewek, lah -karena saya tidak rela ia mengakhiri hubungan dengan kak Lisa yang di Bandung, yang begitu baik pada saya-. Iba juga hadir. Kepada mama yg 'dipaksa membeli' filter air seharga 7juta 500ribu yg dijual mantan ibu bos.

Ada satu yang kompleks: saya kesepian, tapi panik jika ada yg akan menjenguk. Paradoks sejenis memang dari dulu subur. Saya kepingin punya sahabat yg menginap di rumah dan rumahnya saya inapi. Tapi, untuk mengundang ke rumah, koq, saya yg enggan?

Sebagai penutup, saya selipkan 2 cerita:
-saya diinjeksi di bokong.
-baru hari ini gosok gigi

[tambahan] saya juga sering cemburu pada si abang yang selalu dibilang ganteng. Tidak, bukan saat sakit ini saja. Saya sadar, koq, wajah sakit saya serupa genderuwo. Tidak tahu diri sekali jika ada genderuwo yg berharap dipanggil "hoi, seksi!". Atau, "hey, hottie! Here, baby!". Wah, wah, kalau sudah begitu, saya jadi sekedar makhluk penuh delusi, dong!

3 komentar:

Anonim mengatakan...

hei seksi...

Anonim mengatakan...

wow.. dapet injeksi.. enak kah?

Johan Tampubolon mengatakan...

eh, eh, do not get me wrong. It was a temperature control syringe injection Suer, deh. Suakiiitt.