What If I Could Tell You This?

Pada mulanya, sebagaimana kebanyakan hal bermula, adalah mimpi. Impian itu lahir besar, namun rapuh; Indah, namun abu-abu; Meledak-ledak dan berpijar, namun tidak panas. Orang-orang yang saya temui, beberapa mengatakan: Hanya mereka yang tidak menyerah yang berhasil merajut mimpinya menjadi bayi yang bergerak; yang dapat dilepas ke dunia; yang kepemilikannya tidak lagi hanya milik satu ruang di serebrum semata. Saya tidak setuju dengan ini. Menurut saya, impian yang gagal dirajut tidak mutlak milik mereka yang menyerah. Seringkali, (bahkan lebih sering dari mereka yang menyerah) rajutan yang tidak sempat dilahirkan adalah milik mereka yang pelupa.
Impian itu, sebagaimana simpul kusut dalam benang, dapat muncul kapan saja; pada siapa saja; dan di mana saja. Kali ini, satu datang menimpa saya: Saya bermimpi akan menceritakan ini; hal yang berhasil membuat saya menertawakan dunia tiap kali mereka membuat lelucon. Hidup ini lucu, sungguh.
Cerita ini dimulai dan berakhir tanpa ledakan. Jangan mengharapkan yang berlebihan.

Satu: Integration, Eh?
Satu hal yang jadi bahan tertawaan saya adalah segala hal yang berbau kesatuan: integrasi, semangat kebangsaan, nasionalisme, dan, yang mungkin akan jadi favorit: politik. Hal-hal yang saya sebut ini, sering dimispretasikan; disalahtafsirkan dengan sengaja, atau tidak sengaja; juga, dijadikan alat tipu-tipu.
Sebagaimana yang telah saya tuliskan pada paragraf ketiga, ini bukanlah cerita yang hebat. Saya hanya akan bercerita tentang apa yang terjadi dalam area yang selama lebih dari 2 tahun terakhir ini saya pijaki hampir setiap hari: sekolah saya.
Upacara senin, saya adalah satu dari mereka yang berteriak menyebutkan nama sekolahnya dengan awalan seruan “Hidup!”. Tapi, tanpa niat diam-diam (karena saya ribut sekali), saya adalah satu dari mereka yang duluan mencibir saat ada yang memuja sekolah kami dalam pujian penuh sirik. Saya harus katakan ini pada mereka: kalian telah dibohongi.
Pelabelan sosial adalah satu contoh keahlian politik manusia: memberi klasifikasi pada orang-orang, siapa yang masuk kotak kawan, siapa yang masuk kotak lawan, dan siapa yang masuk kotak pun tidak usah. Jangan salahkan politik untuk hal ini. Ia hanya mengabdi pada etimologi yang iseng-iseng saya runut: Poli untuk banyak, litik untuk pecah. Ini adalah taktik pecah belah. Pertanyakan lagi konsep integrasi anda.
Integrasi yang sebenarnya adalah terhubung secara keseluruhan. Bukan pemisahan kawan-lawan, bukan menjadi nomor satu untuk menyisakan nomor buntut. Integrasi adalah bersama kelompok mencapai tujuan bersama, melakukan apa yang baik bagi dirinya, dan apa yang baik bagi kelompok. Seperti yang disinggung teori Ekonomi Modern: Jika beberapa pihak mengejar 1 tujuan, tidak akan ada yang menang: Semua perang, Semua berang; Semua bertabrakan; semua berantakan.
Lakukanlah sesuai kemampuanmu yang bisa kamu berikan untuk kelompok, tanpa perlu memperebutkan kemenangan atas pihak lain. Dunia akan indah jika petani memberikan beras pada penjahit dan nelayan, penjahit memberikan jaring pada nelayan dan pakaian pada petani, dan nelayan memberikan ikan pada petani dan penjahit. Ini, adalah integrasi.
Sekolah kami, menjadi bagian dari permainan politik ini: Sebagai politik domestik, maupun politik ekstra-areal. Domestik, adalah pemberian label secara koersif bagi tiap-tiap anak. Terkadang, yang terjadi adalah keberpihakan implisit: anak-anak tertentu yang diberikan imunitas terhadap sanksi dan penalti, anak-anak tertentu yang dijadikan prioritas dan dilayani layaknya melayani tamu restoran (senyum 24/7, dan disuapi tiap kali makan –ini bohong-). Yang eksplisit: Anak jurusan IPA berhak menerima hak lebih dulu dibandingkan anak jurusan IPS, anak pejabat dijadikan prioritas dulu dalam mendapat beasiswa dan program-program pertukaran pelajar.
Saya benci ikut-ikut memberi label.
Tapi, sayangnya, posisi saya sekarang adalah pewarta. Saya menceritakan sebuah cerita. Saya belum puas membubuhi cerita ini dengan pandangan saya. Belum.
Saya berusaha keras untuk tidak ikut-ikutan memberi label. Sayangnya, usaha saya mungkin belum cukup keras. Walaupun temporal, saya juga ikut-ikutan menghina urakan anak IPS dan menghina oportunitas anak IPA. Lagi-lagi temporal, saya menghina guru-guru yang menjadikan sekolah ini area berpolitik.
Saya sadar, sebagai pelajar, tugas saya adalah belajar. Sekolah ini, (terimakasih), karena kebaikannya, telah memberi saya bahan belajar yang melimpah: (atas nama relevansi pada subjudul kita,) Politik. Saya belajar tentang keberpihakan, saya belajar tentang efek citra, saya belajar tentang penipuan, saya belajar tentang penyatuan semu, saya belajar tentang bagaimana berkhianat demi mencapai posisi puncak. Membayangkannya, saya jadi semakin ingin berterimakasih.
Saya bingung bagaimana menuliskan kesimpulan untuk subjudul yang ini. Saya terlanjur keceplosan dan latah mengetikannya di bagian-bagian yang terserak di seluruh tulisan. Saya kurang sistematis, maaf. Tapi, saya coba buat kesimpulannya: Integrasi tidak memberi rumus yang definit dalam pewujudannya. Namun, jikapun ada: sebagaimana setiap rumus, rumus ini juga akan memiliki variabel. Ya itu, faktor x yang tidak menentu. Karena itu, selesaikan membaca tulisan ini, dan lihatlah ke luar: buat peta kasar yang menggambarkan pihak-pihak yang terlibat dalam integrasi semu ini. Beri masing-masing keterangan mengenai seberapa banyak kuasanya, apa yang ia berikan bagi keutuhan, dan apa yang ia terima. Mereka yang memberi paling sedikit namun menerima paling banyak adalah ia yang berada di balik semua kesemuan ini: sang dalang. Setelah mengetahui ini, tertawalah. Dan buat peta baru tentang bagaimana penyatuan ini seharusnya berbentuk. Gambar, lalu sebarkanlah. Tempelkan di tembok, tempelkan di jalan, tempelkan di tiang listrik. Kampanyekan persatuan. Jangan kampanyekan partai. Karena, sebagaimana politik berbuat demikian, partai juga menginginkan dominasi. Dengan kata lain, kemenangan atas pihak-pihak yang kalah.

Mediokrit dan Mediokritas
Err.. saya gemas. Subjudul ini sudah sedikit saya singgung pada subjudul sebelumnya.
Mediokrit berarti makhluk yang mediokritasnya tinggi: orang-orang tengah, orang-orang sedang. Inilah mereka yang tidak masuk kotak. Mereka yang pelit, karena itu tidak disebut baik. Namun, tidak memasukkan kegiatan menghina sebagai hobi, untuk disebut jahat.
Mereka ini sebenarnya beruntung, lho. Karena, merekalah yang kemanusiaannya masih dihargai: mereka yang kompleksitasnya tidak dipaksakan berada dalam satu kotak pelabelan sosial. Namun, beberapa masyarakat membentuk mereka menjadi mainan di luar kotak yang diteriaki: “STD!”. Atau, “Dangkal!”. Atau, “Average Joe!”. Atau, “Gak jelas!”.
Oh, well, saya sebenarnya menaruh benci pada arus utama (mungkin anda lebih familiar dengan kata mainstream?). Tapi, saat independensi diberi label, saya jadi membenci keduanya. Oh, ralat. Saya membenci label. Label-lah yang sebenarnya jahat. Ada beberapa teman saya yang tidak jadi menaruh keroncong Waldjinah dan Gesang pada daftar putar (err.. playlist) di telepon genggamnya. Hanya karena orang-orang bilang itu “Ga keren!” atau “Tuwir!” atau “Kuno!”. Tapi, coba, deh, dipikir lagi. Saya saja meragukan keberadaan “orang-orang” itu, koq. Gimana kalo sebenarnya, yang selama ini kalian sebut opini masyarakat itu hanya omelannya segelintir orang atau beberapa orang yang kebetulan omelannya mampir ke kuping kalian? Generalisasi itu palsu. Bangsanisasi dan Ideologi juga kesadaran palsu.
What if i could tell you...
...that the world has been lying to you, most time?
Abstrak dan Konsep adalah kata benda definit untuk menjelaskan hal-hal yang infinit. Menutup diri pada satu abstrak atau satu konsep tertentu sama artinya dengan menutup diri pada perkembangan.

0 komentar: